Wednesday
Hamba Tuhan
Login





Lost Password?
No account yet? Register
Shalom, bagaimana kabar Anda hari ini? Silahkan login atau register.
Cadar Yang Terkoyak 11/21
Friday, 14 September 2007

ALKITAB
Tiga minggu sesudah kesembuhanku, saya mendapatkan keberanian untuk melaksanakan rencanaku untuk memperoleh sebuah Alkitab. Saya memberitahukan Bibi bahwa saya mau pergi mengunjungi Razia. "Engkau akan membawa serta Salimah?" tanya bibi yang belum terbiasa sepenuhnya dengan cara hidupku yang baru dan menyesuaiannya dengan keadaanku sekarang.

"Tidak bibi", jawabku tersenyum. Saya kira saya telah cukup dewasa sekarang untuk bepergian tanpa ada seorang pun yang memikirkan bahwa akan terjadi hal lebih buruk terhadap saya di jalanan. Tolong mintakan Munshi menyiapkan mobil untukku." Bibi membuka mulutnya seolah-olah hendak membantah, tapi menutupnya lagi dengan ketat. Gulshan yang baru ini telah memiliki kecenderungan untuk tidak lagi terlalu mempertimbangkan apa yang dipikirkan oleh orang lain dibandingkan dengan Gulshan yang lama.

Majid membawa Marzedes biru yang mengkilap itu berputar dan membukakan pintu belakang sambil tersenyum. Tirai-tirai didalamnya diturunkan agar melindungiku terhadap lirikan orang lain. Begitu kami meluncur ke gerbang utama, terlihat kepuasan pada dirinya waktu melaksanakan tugas yang dibebankan padanya sesudah kejadian yang berganti-gantian ini. Seorang chowkedar menutup pintu dengan tersenyum dibelakang kami dan selanjutnya mobil meluncur maju.

 

Razia telah siap-siap untuk kunjunganku. Apa yang tidak diketahuinya ialah bahwa saya mempunyai sesuatu keperluan untuk mengunjungi orang lain lagi. Saya menyuruh Majid kembali dan meminta kepadanya untuk datang menjemputku sesudah jam makan siang. Lalu saya berpaling untuk menemui guruku yang sangat gembira melihat saya begitu sehat dan mengajukan beberapa pertanyaan. Ia kecewa dan sedikit penasaran waktu kukatakan bahwa saya hendak menemui seseorang lain untuk suatu keperluan penting dan mendesak di bagian lain kotanya.

"Tidak, saya tidak perlu ditemani" kataku, "Hanyalah sedikit urusan transaksi dagang yang perlu kulakukan". Saya meninggalkannya berdiri kebingungan diberanda rumahnya, pandangannya mengikutiku begitu saya bergegas menuruni lorong lalu menuju ke jalan besar. Saya merasa kurang enak. Belum pernah saya mencoba berlaku curang terhadap seseorang sebelumnya selama hidupku, tapi rasanya ini merupakan cara satu-satunya bagiku untuk memperoleh Alkitab. Setelah tiba di jalan besar barulah kusadari bahwa kurk (Penutup kepala)ku telah tertinggal - kelihatannya seluruh kejadian ini merupakan lambang dari kemerdekaan yang sedang bertumbuh di dalam diriku.

Sebuah tonga (dokar) yang ditarik kuda menghampiriku dan saya menghentikan si tonga-walah (sais) yang agak tua itu. "Saya sedang mencari seorang pria beragama Kristen yang tinggal di Kachary road. Apakah anda kenal seseorang seperti itu?" Ia memandang lurus kedepan di antara telinga kudanya seolah-olah tidak mendengar dan segera saya tambahkan, "Ada satu tugas yang harus kukerjakan". Ia menunjuk kearah utara. "Ada sebuah tempat disana. Tempat itu amat tua dan sudah ada sebelum negara Pakistan lahir. Saya tidak tahu apakah ada seseorang Kristen tinggal di sana, tapi jika anda mau saya akan membawamu kesana." "Tolong bawa saya ke sana". Saya naik ke tonga itu. Saisnya mencambuk kudanya yang kurus lalu kami bergerak dengan langkah cepat dan tenang.

Sepanjang perjalanan selama 1/2 jam itu banyak waktu bagiku untuk merenungkan apa yang sedang kulakukan. Apa yang akan dikatakan kakak-kakak perempuanku jika mereka melihat Gulshan-nya tercinta dengan ceria berjalan-jalan di jalanan umum sendirian di atas tonga?. Tindakan seperti ini sama sekali tidak akan ditiru oleh wanita manapun dalam keluargaku. Tapi saya tidak punya pilihan lain. Yesus telah mengirimkan saya untuk melakukan perjalanan ini dan saya mempercayakan kepadaNYA akan apa hasilnya nanti. Kami tiba di sebuah gedung besar kemudian kuketahui adalah sebuah kapel (gereja kecil) orang Kristen. Di sebelahnya berdiri sebuah bungalow di belakang pagar tinggi. Tonga itu berhenti di depan salah satu pintu pagar tersebut. "Inilah tempatnya" kata si tonga wallah. Saya membayar sewanya dan lewat pintu saya masuk ke sebuah halaman yang banyak pohonnya.

Saya berjalan menuju rumah itu dan melihat seorang pria duduk di bawah sinar matahari dengan setumpuk buku di atas meja kecil di sampingnya. Ketika saya mendekat, pria itu memandang ke atas. Hatiku melonjak penuh kekaguman. Itulah wajah yang telah kulihat dalam visiku. Yesus berkata, "Orang ini akan memberikan padamu sebuah Alkitab."

Dengan sopan sambil setengah berdiri pria itu berkata, "Jika anda datang untuk menemui istriku, maaf, ia sedang tidak di rumah. Ia telah pergi ke Lahore." Dengan cepat saya berkata, "Saya bukanlah datang mencari istri anda tapi datang menemui anda untuk memperoleh sebuah Alkitab. Saya telah melihat anda dalam sebuah visi."

Pria itu terkejut dan menatapku dengan cermat, mencoba menembus dopattaku yang secara naluri telah kutarik menutupi wajahku waktu melewati halaman. Kini saya membiarkan syal itu terjatuh dari wajahku dan memandang padanya. "Siapakah anda? Apakah agamamu? Anak perempuan siapakah anda?" "Saya tinggal 18 km dari sini, berasal dari keluarga Islam". Saya dapat melihat bahwa ia takut mendengarkan keteranganku. Bahaya apakah yang akan didatangkan wanita Muslimat yang masih asing ini terhadapnya dengan permintaannya untuk mendapatkan sebuah Alkitab?

Ia berkata, "Jika saya adalah anda, saya akan kembali ke rumah dan terus membaca Al-Quranmu. Apa yang ada disana baik bagimu dan apa yang ada di dalam Alkitab baik bagiku. Janganlah anda risaukan dirimu dengan Alkitab itu". Ia bangkit dengan maksud mengantarkan saya keluar. Tapi saya tetap berdiri, hatiku tenggelam ketika perasaan sukacitaku surut. Saya telah membayangkan bahwa ia akan menyambutku, malah mungkin telah bersiap-siap untuk kunjunganku, "Yesus Immanuel mengirim saya kepadamu. Percayalah kepadaku!" Ia mempelajari saya sebentar, lalu menyilahkan saya duduk.

Saya menceritakan riwayatku, mula-mula agak malu, lalu menghangat menjelaskan padanya sedikit tentang betapa hidupku selama 19 tahun sebagai seorang lumpuh. Kuceritakan perjalanan ke Mekkah, begitu pula tentang doa-doa kami yang dipanjatkan dengan penuh pengharapan dan di sana hasilnya masih mengecewakan. Saya singgung tentang kematian ayahku yang tragis dan dampaknya yang mengagumkan - Yesus berbicara kepadaku dan menunjukkan pembacaan tentang Dia di dalam Al-Quran.

Dengan bersunguh-sungguh Ia menatap ke depan, matanya ditujukan kewajahku. Saya belum pernah ditatap sedemikian cermat oleh pria asing sebelumnya - namun saya merasakan bahwa dia bukanlah orang asing bagiku. Saya lanjutkan dengan memberikan kesaksian tentang visinya Yesus di dalam kamarku serta penyembuhanku. "Kemudian" kataku, "Saya melihat anda." "Yesus menampakkan diriNya lagi dan menunjukkan umatNya kepadaku dan anda ada diantara mereka. IA menyuruh saya datang kepadamu untuk memperoleh sebuah Alkitab. Dan jika anda masih juga belum percaya padaku, dengarkanlah doa yang diajarkan Yesus kepadaku untuk berdoa." Lalu saya mengulangi kata-kata dari Dia 'Bapa Kami'.

Ketika selesai, suasana menjadi hening. Temanku duduk, tangannya diletakkan dilengan kursi, kepala ditundukkan kearah dada sambil berpikir keras. "Apakah mungkin?" tanyanya, lebih banyak ditujukan kepada dirinya sendiri daripada kepadaku. Ia menarik napas dalam-dalam dan sesudah itu berdiri. "Duduklah disini sebentar, saya harus pergi dan berdoa untuk ini karena langkah ini adalah hal yang serius bagi kita jika saya harus memberikan sebuah Alkitab padamu." Ia masuk kerumahnya dan saya duduk di bawah sinar matahari sementara burung-burung kolibri terbang dengan cepatnya diantara pepohonan, sayap-sayapnya yang mungil mendesing begitu cepat, terlihat seperti tidak bergerak-gerak di udara.

Setelah memakan waktu yang lama sekali rasanya, tapi mungkin tidak sampai ½ jam, temanku keluar dari rumah dan berkata, "Saya telah berdoa dan bertanya kepada Allah apa yang harus saya lakukan dan saya merasa Ia menyuruh saya memberikan padamu apa yang kau perlukan. Tapi ketahuilah bahwa apa yang engkau pikirkan untuk beralih dari kepercayaanmu itu merupakan sesuatu yang sulit dan anda dapat saja diusir dari keluargamu. Anda akan banyak menanggung beban yang berat dan banyak kehilangan. Tapi jika anda tetap setia, anda akan menerima hidup yang kekal."

"Saya mengetahui dan menyadari semuanya itu," kataku. "Saya mau mengiring Yesus Immanuel yang telah menyembuhkanku dan menunjukkan padaku jalan kasih". Ia tersenyum dan berkata, "Sekarang pikirkanlah lagi tentang hal itu. Apabila anda harus menyerahkan apa yang patut anda persembahkan kepada Yesus maka si jahat akan menyerangmu. Ia akan menimbulkan banyak rintangan dan hambatan bagimu sehingga sukar bagimu untuk menerobos dan melampauinya.Tantangan besar akan anda hadapi. Bahkan mungkin orang Kristen sendiri malah yang akan menimbulkan hambatan-hambatan itu bagimu."

Air mataku berlinang. "Saya tidak memikirkan tentang hambatan-hambatan ini. Yang kuketahui hanyalah Yesus Immanuel yang telah menunjukannya kepadaku. Ia telah membangkitkan saya dan memberikan terang padaku. Saya ingin mengetahui lebih banyak tentang DIA dan kini DIA mengirim saya kepadamu untuk mendapatkan bantuan. Tolonglah saya." Sesudah ini ia memberikan padaku sebuah kitab perjanjian baru dalam bahasa Urdu serta sebuah buku lain bernama, "Orang-orang yang mati syahid dari Carthage". Lalu ia memanjatkan doa yang indah dimana dengan kata-kata dan perasaan sederhana ia mengungkapkan tentang persaudaraan dan kasih yang membuat saya merasa kuat.

Dari rumah ini saya naik tonga lagi kembali ke Razia tepat sebelum makan siang. Saya tidak menjelaskan padanya tentang perjalananku tapi hanya mengatakan apa yang kuperlukan telah kuperoleh. Tapi masalahnya belum terpecahkan, lalu saya mengalihkan percakapan yang kami tertawa serta mengobrol seolah-olah tidak ada hal-hal aneh yang terjadi sampai Majid datang menjemput saya pulang.

Bibi telah mengamat-amati saya, dengan sunguh-sungguh beliau menatapku, tapi saya memalingkan muka karena merasa yakin bahwa apa yang saya alami baru-baru ini pasti tergambar diwajahku. "Bagimana khabar Razia," tanya Bibi. "Baik, dia mempunyai beberapa orang murid yang lain dan merasa bahagia karena saudara perempuannya kini telah menikah. Sayang sekali ia sendiri belum menikah tapi saya pikir keluarganya tidak mempunyi mas-kawin yang cukup untuknya." "Benar, ia masih menerima murid-murid untuk membantu ayahnya karena hanya memiliki usaha dagang kecil-kecilan saja."

Membicarakan gosip seperti itu akan cukup membuat kami tidak sibuk sampai sekurang-kurangnya 2 jam seperti yang kami lakukan diwaku-waktu sebelum ini, tapi si Gulshan baru telah mempunyai perhatian pada hal-hal lain yang jauh lebih penting. Saya memohon diri masuk ke kamar tidurku dan menutup pintu. Lalu saya berbaring dan beristirahat, rasa-rasanya fisik dan emosiku telah terkuras.

Malam itu saya mulai membaca perjanjian baruku secara sembunyi-sembunyi, bagaimanakah rasanya? Tanyakanlah kepada seseorang yang haus betapa artinya air itu. Tanyakanlah pada seorang bayi betapa berartinya air susu ibu itu. Padaku telah diberikan makanan yang sulit kucernakan dan sekarang saya memperoleh roti untuk mengenyangkan laparku serta membaca tentang kebenaran kehidupan manusia dan tujuan hidup manusia yang tertulis dalam halaman-halamannya.

Yesus telah berkata kepadaku,"Akulah Jalan, kebenaran dan hidup." Kata-katanya dalam Injil menumbuhkan pengertianku, belum pernah benar-benar saya dapat memahami isi kitab suci, tanpa bimbingan. Tapi Alkitab ini lain daripada yang lain, Ia membuka mata rohaniku, cerita-ceritanya menjadi hidup ketika saya membacanya. Saya menemukan 12 belas rasul yang telah menemani Yesus dalam visi saya yang menakjubkan dulu. Saya menemukan kata demi kata Doa telah kupelajari di kaki Yesus Immanuel. Saya menemukan arti dari nama Yang Indah yang diberikan padaku dalam Visi itu: AKULAH YESUS, AKULAH IMMANUEL...... ALLAH BESERTA KITA!


Saya telah dibesarkan dengan pola berpkir bahwa Allah adalah sesuatu yang terpisah dan tak dapat dicapai. Disini akhirnya saya menemukan penjelasan mengenai kuasa-kuasa Ilahi serta misi Yesus. IA dapat membangkitkan orang mati karena IA adalah Tuhan atas kehidupan. Ia akan datang lagi karena IA hidup selamanya. IA memiliki hidup. Kini saya mengerti tentang hal ini sebagai suatu kesimpulan yang benar tentang Manusia Yesus itu. Dalam pembacaanku saya menemukan perikop tentang Baptisan. Dalam Markus 1:9-11 saya baca bahwa Yesus dibaptiskan. Pada Roma 6:4 "Sebagaimana halnya Kristus dibangkitkan dari antara orang mati oleh kemulian Bapa, maka begitu pula Kristus telah dibangkitkan kepada pembaharuan hidup".

Pembaharuan Hidup..... Itulah yang saya rasakan - seolah-olah saya telah dibenamkan kedalam mata air segar dan mengalir begitu cepat membawa kehidupan yang menyebar ke setiap bagian hidupku. Jadi Baptisan ini ialah satu tanda dan satu materai terhadap pengalaman tersebut. Sewaktu saya merenungkannya, muncul sebuah gambaran didepanku, yaitu gambaran seorang gadis muda duduk dengan sedih diatas kursi ketika para pelayannya menyiram dan memandikannya dengan air zamzam.

Zamzam air kehidupan tidak dapat membasuh dosa-dosaku ataupun memberikan kehidupan pada dagingku yang lumpuh. Yesus telah memberikan kepadaku air kehidupan rohani bagi tubuhku yang tidak berdaya demikian pula untuk jiwaku. Sekarang, kehendakku adalah agar dapat membenamkan diriku dengannNYA dalam baptisan. Saya pikirkan mengenai hal itu tanpa menyadari sepenuhnya akan apa yang bakal saya jalani, begitu pula perubahan-perubahan apa yang kelak dapat terjadi nantinya di dalam hidupku.

"Saya telah bersaksi", kataku dalam hati. "Saya dapat dibaptis dan kemudian dapat kembali lagi kemari menjalani hidup selanjutnya, bukankah demikian jadinya?" Pertanyaan ini mengambang, tanpa ada sesuatu suara yang mengiyakan atau tidak membenarkannya. Tapi, wajah ayahku muncul di hadapanku dan saya  merasakan suatu perasaan sakit laksana sebuah pisau yang dihujamkan kedalam jantungku. "Oh ayah, ampunilah saya, tapi saya harus mengikut Yesus yang telah menyembuhkan saya".

Saya berbicara dengan keras dalam kepedihanku. Tiba-tiba terasa suatu perasaan damai yang mendalam menyelimutiku dan saya merasa yakin bahwa inilah jalan yang benar dan harus kutempuh. Besoknya saya singgah dirumah Razia lagi dan dari sini saya melanjutkan ke tempat keluarga Major seperti sebelum ini. Pada kesempatan ini nyonya Major ada dirumah. "Lihat" kataku. "Disini dikatakan bahwa saya harus dibaptiskan, dapatkah saya dibaptiskan? "

Beliau menggeleng-geleng kepala. "Anakku, kami tidak melayani Baptisan dalam denominasi kami". Baliau memandangku dengan ekspresi yang aneh. "Apakah anda sadar apa yang akan terjadi jika anda sampai melakukan hal ini - mungkin anda tidak dapat kembali ke rumahmu lagi. Bahkan keluargamu dapat mencoba membunuhmu. Oh ya, walaupun keluarga yang begitu saling menyayangi seperti keluargamu, dapat saja mereka berubah jika dilihatnya salah seorang dari anggota keluarganya meninggalkan iman Islam."

Hening sebentar. Saya mencoba membayangkan keadaan seperti itu. Dibuang dari keluargaku, bahkan dibunuh.....,teringat olehku sidang keluarga....,wajah-wajah seakan-akan elang semuanya menatapku. Lalu saya pikirkan tentang pesan terakhir ayahku kepada kakak-kakak lelakiku - "jagalah adikmu baik-baik." Tentu saja pada akhirnya, mereka akan mematuhi perintah keramat yang terakhir itu. Namun walaupun mereka tidak juga mematuhinya dan benar-benar mau menyakitiku, saya masih tetap harus mengikuti jalan ini.

Kata-kata Yesus telah berakar dalam hidupku dan kini saya merasakan kesegaran dimana ada tenaga dan daya tumbuh sedangkan dulu hanyalah keadaan diam dari tata cara agama yang telah tersusun sedemikian untuk dipatuhi dan ditaati. Supaya mereka tidak sangsi lagi dengan pernyataanku, saya berkata dengan tegas, "Yesus Immanuel telah mengatakan padaku bahwa saya harus menjadi saksiNYA dan Baptisan merupakan langkah berikutnya bagiku. Saya harus mematuhi sebab bila tidak berarti saya akan melenyapkan perasaan damai yang kini telah saya miliki. Lebih bak mati dengan Kristus daripada hidup tanpa DIA."

Bapak dan Nyonya Major saling berpandangan dan istrinya mengangguk perlahan. Suaminya berpaling keadaku. "Kalau begitu, baiklah. Jika Yesus telah berkata begitu jelas kepadamu maka janganlah anda melawan KehendakNYA. Namun bukanlah hal yang bijaksana bila ada orang melihat anda pergi bersamaku ke Lahore. Istriku akan pergi bersamamu dengan bus. Ia harus singgah mengambil anak kami di sekolah. Saya akan menyusul." "Tentu saja saya senang menemanimu Gulshan," kata nyonya Major maju kedepan dan memegang tanganku. Saya merasakan adanya sentuhan manusiawi, menyambut saya datang masuk ke keluarga dalam kepercayaanku yang baru.

Jadi, saya menyusun rencanaku dengan sedikit perasaan emosi. Mungkin saya sedang membuang kehidupan dari seseorang lain. Islam, sebagaimana sering dikatakan, dilahirkan di gurun dan para pengikutnya menempuh pelajaran melalui suatu sekolah yang keras dan kasar, belajar selalu taat agar dapat tiba dan mencapai suatu akhir yang lebih tinggi marifatnya dari yang sekarang. Perasaan-perasaan pribadi tidak dipertimbangkan untuk dapat digunakan sebagai dasar alasan yang cukup kuat guna melakukan suatu perubahan atau deviasi. Jadi, dengan mengiring Yesus saya dapat menerapkan rasa ketaatan yang telah mendarah-daging, sewaktu perasaan-perasaan manusiawi mungkin telah mengingkari saya.

Tapi dalam menyusun rencanaku, saya tidak dapat menempatkan diriku pada suatu keadaan dimana pintu bagiku untuk keluargaku sampai harus tertutup. Secara jujur, saya sangat mengharapkan bahwa saya dapat menjalani baptisan dan kemudian kembali kerumah meneruskan hidupku lagi. Sebagai seorang percaya yang belum cukup mendapatkan pengajaran, saya membayangkan bahwa langkah-langkah yang sedang kutempuh merupakan semua yang dituntut Yesus daripadaku - bertemu dengan orang-orang Kristen dan menyaksikan kepada mereka tentang kesembuhanku lalu dibaptiskan. Namun, bapak Major telah dapat melihat lebih jauh lagi kedepan dibandingkan dengan saya, "Janganlah membawa uang atau sesuatu perhiasan apapun. Jika anda membawanya, sesudah pembaptisanmu mungkin seseorang akan menuduh umat Kristen".

Dengan bersungguh-sungguh beliau mengatakannya dan saya memandangnya mencoba mengartikan apa yang dimaksudkannya dengan benar. Beliau berbicara tentang pemutusan terhadap sesuatu dangan cara semurni-murninya, seakan-akan saya harus meninggalkan segala sesuatunya dibelakangku. Semuanya? - uang, permata, rumah, tanah, cinta-kasih dan bantuan keluarga? Apakah Yesus dapat meminta hal seperti ini daripadaku? Apakah DIA mengaruniakan padaku kesembuhan ini dengan maksud hanya untuk menarik kembali segala sesuatu lainnya yang telah dapat membuat hidupku menjadi sebegitu mesra?

Sewaktu saya kembali ketempat Razia hari itu, saya bertanya padanya, "Bolehkah saya datang mengunjngimu dalam waktu dua hari lagi?" "Tentu saja" ,jawabnya. "Saya menunggu". Di rumah, kepada paman dan bibi kukatakan bahwa saya hendak tinggal bersama Razia dua hari lagi dan mungkin kami akan ke Lahore. "Saya akan menanda tangani sebuah check sebear 75.000 rupee sehingga paman dapat membayar semua tagihan selama saya pergi," kataku kepada paman.

"Dimanakah kau akan tinggal selama di Lahore?" tanya bibi agak merengut menandakan ketidak senangannya terhadap rencana ini. Tapi beliau tidak berdaya untuk mencegah saya. Sekarang saya seorang yang bebas dan lebih dari itu, adalah orang yang menanda-tangani check-check. "Oh mungkin saya akan tingal bersama kakak-kakakku," jawabku secara sembarangan. "Akan kutulis surat".

Besoknya saya meminta bibi menemaniku berziarah ke kuburan ayah. Beliau sepakat dengan tanda baktiku ini. Kami memetik bunga-bungaan di halaman dan saya menaruhnya disana disertai perasaan-perasaan yang sukar kulukiskan. Ingatan terhadap kesenangan bercampur dengan kenyataan bahwa kekekalan bukanlah seperti apa yang telah beliau ajarkan kepadaku yaitu suatu surga yang penuh dengan kesenangan melainkan kehadiran Yesus Kristus.

Pada malam terakhir saya pergi ke pekaranganku ditempat mana saya telah begitu sering duduk selama masa-masa saya tidak memiliki kemampuan. Sambil berdiri diatas tempat dimana peti mati ayahku pernah diletakkan, saya mengenangkan kembali ayahku dengan penuh kesedihan untuk waktu yang lama. Matahari terbenam dalam suatu pancaran sinar merah yang memberi pengaruh terhadap warna dinding-dinding bungalow. Saya berjalan diantara bunga-bungaan serta buah-buahan  dan dedaunan menghirup bau harum yang merupakan campuran bunga mawar dan kembang jeruk.

Angin sepoi-sepoi senja berdesir di dedaunan pohon mangga dan jeruk sewaktu langit diatasku disapu oleh warna ungu dan biru malam. Bulan muncul, besar bentuknya seperti buah semangka sedangkan bintang-bintang bertaburan laksana butir-butir berlian dalam lipatan beludru malam. Di bungalow dibelakangku, lampu-lampu telah dinyalakan dan cahanyanya berpancaran, hangat dan aman rasanya. Saya masih terpana disitu. Seolah-olah baru pertama kali saya melihatnya, kini sewaktu saya hendak meinggalkannya malah saya tidak memperkenankan bayangan yang merayap dipepohonan menakut-nakuti saya.

Kenapa kau lakukan hal sedemikian ini? Engkau akan menjadi seorang pengikut Kristus dan kehilangan semua ini? Suatu pikiran datang merayap muncul dari kegelapan. seakan-akan merupakan jawaban, sebuah ayat yang pernah kubaca menyelinap masuk kepikiranku seperti sebuah suara yang lembut..


"Seseorang yang mencintai ayahnya dan ibunya lebih daripadaKU, maka ia tidak layak bagiKU. ia yang tidak memikul salibnya serta tidak mengikut AKU, tidak layak bagiKU. (Mat.10:38)

Saya memandang ke arah rumahku lagi dan teringat olehku bahwa bukan hanya waktu-waktu bahagia, tapi juga waktu-waktu dimana saya merasakan seolah-olah rumah ini merupakan sebuah penjara bagiku dimana saya, si narapidana berharap didalam hati bahwa saya sedang dalam perjalanan ke surga. Saya mengungkapkan isi hatiku dengan suara keras, "Segala sesuatu berubah. Tapi saya akan selalu mengenangkan tempat ini dihatiku".

Kemudian saya meninggalkan pekarangan dan masuk kerumahku berkemas-kemas. Besok pagi saya menanda-tangani 2 check - satu lembar 75.000 rupee, saya berikan pada paman untuk biaya rumah tangga sehingga beliau tidak akan kekurangan uang dan berusaha mencari saya - satunya lagi 40.000 rupee kumaksudkan untuk diberikan kepada Razia untuk mengamankan kerjasamanya dalam rencanaku. Dengan cara itu pintu masih terbuka sedikit bagiku bila saya ingin kembali kerumah lagi.

Pada tanggal 15 maret saya melepas paman berangkat kerja, kemudian saya mencium bibi dan para pembantuku Salima dan Sema sambil menahan airmata. Bibi berkata, "Kenapa kau pergi dengan cara seperti ini? Bawalah mobil dan sopir bersamamu ke Lahore. Apakah kau dapat kemana-mana sendiri? Apakah kau yakin akan pergi tanpa pembantumu? Pamanmu sama sekali tidak menyenangi hal ini."

"Bibi jangan kuatir," sahutku, "Saya akan menulis surat padamu". Beliau harus puas dengan pernyataanku itu. Kemudian Majid memutar mobil dan saya masuk ke dalamnya. Kembali saya memandang ke rumah putih yang penuh kedamaian itu ketika kami mengelilingi sebuah tikungan lalu hilang dari pandangan. Si penjaga pintu terakhir melihat lambaian tanganku dari balik tirai jendela Mercedes itu.

Saya menemui sedikit kesulitan waktu membujuk Razia berperan-serta dalam rencanaku ketika kuberitahukan padanya uang itu, tetapi saya tidak mengatakan hal yang sebenarnya tentang kelakuanku yang aneh, bahwa saya sedang mengulur-ulur waktu sehingga tidak ada yang dapat menghalangi pelaksanaan baptisanku.

"Ini untukmu karena anda telah mejadi guruku serta berlaku begitu baik padaku. Saya akan ke Lahore untuk tinggal bersama beberapa kawanku. Sekarang saya sudah dapat berjalan sendiri dan saya harus menjelaskan segala sesuatunya pada paman dan bibi tentang apa yang saya lakukan. Kepada keluargaku kukatakan bahwa saya pergi bersamamu sehingga mereka tidak kuatir."

Wajah Razia yang cantik kelihatan sangsi, "Tentu saja saya akan melakukan apa yang dapat kuperbuat untuk menolongmu, tapi bagaimana jika keluargamu mencarimu dan menjumpai saya disini?" Dengan cepat saya berkata, "Tolonglah, jika ada dari mereka menanyakan kemari, sudilah anda berlaku seolah-olah anda ada bersamaku di Lahore?"

"Biarkanlah ibumu keluar menemui mereka dan anda tinggal didalam. Saya mohon maaf, sebab saya tidak dapat menjelaskannya lebih jauh."

Razia kelihatanya terkejut, tapi ia segera berkata, "Tentu saja Gulshan. Jadilah seperti yang kau kehendaki. Saya kira kita cukup saling-mengenal satu dengan yang lain dan kita saling percaya-mempercayai." Saya berpikir-pikir, apa kiranya yang akan dilakukannya jika saja ia mengetahui tentang maksudku yang sebenarnya. Saya meninggalkan dia seperti cara sebelumnya dan mengendarai sebuah tonga kerumah di Kachary Road.

Bapak dan nyonya Major menyambutku dengan hangat dan pada hari itu juga saya dibawa dengan mobil ke Lahore kesebuah rumah yang diurus oleh seorang pendeta dengan istrinya yang bersedia menampung orang-orang yang sungguh-sungguh mau menjadi orang Kristen dan disana saya bertemu juga dengan pendeta dan nyonya Aslam Khan. Jadi, dimulailah satu fase baru dalam hidupku sebagai seorang Kristen yang baru ditengah-tengah umat Kristen. Sama sekali bukanlah seperti yang saya harapkan sebelumnya.

 

BAPTISAN
Pendeta Aslam Khan adalah seorang yang baik sekali, rasanya beliau dapat mengerti akan semua masalah yang sedang saya hadapi. Dalam waktu singkat beliau menjadi Aba-Ji (Ayah) bagiku. Ama-ji yaitu nyonya Aslam Khan dengan caranya sendiri juga seorang yang baik. Beliau keras pendiriannya, kurus, selalu sibuk dirumah dan mengharapkan agar saya juga sibuk.

 

Bersambung Ke Bagian (12)

 

Comments
Add NewSearch
Write comment
Name:
Subject:
[b] [i] [u] [url] [quote] [code] [img] 
 
 
:angry::0:confused::cheer:B):evil::silly::dry::lol::kiss::D:pinch:
:(:shock::X:side::):P:unsure::woohoo::huh::whistle:;):s
:!::?::idea::arrow:
 
Security Image
Please input the anti-spam code that you can read in the image.