Tuesday
Hamba Tuhan
Login





Lost Password?
No account yet? Register
Shalom, bagaimana kabar Anda hari ini? Silahkan login atau register.
Teologia Penderitaan
Wednesday, 26 November 2008

Oleh : Ev. Yakub Tri Handoko, M.A., Th.M.

Topik tentang penderitaan selalu menjadi isu perdebatan sepanjang jaman, karena penderitaan merupakan fakta yang sangat dekat dengan kehidupan manusia dan menyentuh semua orang tanpa batasan. Para filsuf dan pemikir keagamaan terus bergumul untuk menjelaskan keberadaan penderitaan dalam hidup manusia. Alkitab sendiri menyinggung beberapa aspek dari penderitaan. Salah satu yang paling terkenal adalah pergumulan Ayub. Seluruh kitab Ayub ingin menjawab satu isu: mengapa orang saleh menderita? Asaf pernah memikirkan secara serius tentang kemujuran orang fasik dan penderitaan orang benar (Mzm 73:3-12). Habakuk pun bingung melihat Allah yang tampaknya tidak berbuat apa-apa untuk menghukum orang-orang fasik sehingga mereka menjadi semakin banyak dan mengepung orang-orang benar (Hab 1:2-4).  

 

Penjelasan Istilah 

Istilah “Teologi Penderitaan” dipakai dalam dua pengertian. Istilah ini dapat merujuk pada paham yang mengharuskan setiap orang Kristen untuk menderita selama di dunia supaya memperoleh kekayaan dan kebahagiaan sorgawi. Istilah ini juga seringkali digunakan dalam arti pandangan Alkitab (konsep teologis) tentang berbagai seluk-beluk penderitaan. Pengertian yang kedua tersebut mencakup diskusi seputar asal-usul penderitaan, kaitan penderitaan dengan eksistensi Allah (apakah penderitaan membuktikan bahwa Allah tidak ada atau tidak baik?), tujuan penderitaan dalam perspektif teologi tertentu maupun penjelasan tentang mengapa orang-orang benar mengalami penderitaan.

 

Dua pengertian di atas sebenarnya sangat berhubungan. Gaya hidup menderita dan menghindari semua kesenangan didasarkan pada konsep teologis tertentu tentang penderitaan. Sebaliknya, konsep teologis seseorang tentang penderitaan akan mempengaruhi cara dia menanggapi penderitaan atau kebahagiaan dalam hidupnya. Dalam makalah ini fokus pembahasan hanya diarahkan pada Teologi Penderitaan dalam arti yang pertama. Pengertian yang kedua merupakan topik teologis-filosofis yang sangat kompleks dan tidak mungkin terjawab dalam satu kali pembahasan. 

 

 

Penderitaan dalam Sejarah Gereja       

Sejak awal kekristenan penderitaan telah menjadi bagian integral dari kehidupan Yesus, para rasul maupun gereja mula-mula. Yesus hidup dalam kemiskinan (Luk 2:24; Mat 8:20//Luk 9:58; Mat 17:24-27). Dia ditolak oleh kaum keluarga (Mar 3:21; Yoh 7:5), orang-orang di kampung halaman (Mat 13:57//Mar 6:4; Yoh 4:44) maupun bangsa-Nya sendiri (Yoh 12:37-41). Hidup-Nya pun berakhir tragis di kayu salib karena kebencian orang-orang Yahudi terhadap diri-Nya. Dia ditolak oleh milik-Nya sendiri (Yoh 1:11).

 

Penderitaan ini terus berlanjut pada diri para rasul. Stefanus dan Rasul Yakobus dibunuh karena iman mereka (Kis 7:54-60; 12:1-2). Petrus, Paulus dan pemberita injil yang lain beberapa kali mendekam di penjara (Kis 4:3; 12:4-11; Kis 16:23-40; 24:27; Flp 1:12-14). Paulus pernah menjelaskan berbagai macam penderitaan yang dia alami dalam pelayanan (2Kor 11:23-28). Yohanes diasingkan ke Pulau Patmos (Why 1:9). Menurut tradisi gereja, semua rasul – kecuali Yohanes – mati sebagai martyr.

 

Orang Kristen secara umum juga menghadapi ancaman penganiayaan. Kaisar Nero (54-68 M) mengkambinghitamkan orang Kristen dalam kasus pembakaran kota Roma (yang diyakini banyak orang justru merupakan inisiatif Nero). Penganiayaan besar lainnya terjadi pada jaman Kaisar Domitian (81-96 M). Antara tahun 100-250 M penganiayaan menjadi lebih sistematis dan terorganisasi. Penganiayaan yang paling luas terjadi sejak tahun 250 M melalui keputusan kaisar Decius dan Diocletian.

 

Salah satu periode sejarah gereja yang penting dan sangat relevan dengan Teologi Penderitaan adalah kemunculan gaya hidup asketisisme (menjauhi semua kenikmatan dunia) yang tercermin dalam praktek monastisisme (kebiaraan) mulai akhir abad ke-3 M. Anthony (251-356 M) – yang biasanya disebut sebagai pendiri kebiaraan – pada usia 20 tahun menjual seluruh hartanya dan membagikannya pada orang-orang miskin. Ia memilih tinggal di sebuah gua di Mesir. Tindakan ini diikuti oleh orang-orang lain, namun keberadaan mereka tidak terkoordinasi (masing-masing melakukan askestisisme tanpa keterkaitan satu sama lain secara organisatoris atau hierarkis). Simon the Stylite (390-459 M) mengubur tubuhnya di tanah sampai leher selama berbulan-bulan. Beberapa seni Kristen kuno (lukisan, pahatan, dsb) periode ini menggambarkan beberapa tindakan ekstrim dari orang Kristen, misalnya Macarius yang merasa sangat menyesal karena telah membunuh seekor nyamuk. Sebagai bukti penyesalan, ia hidup di rawa-rawa dan membiarkan dirinya disengat berbagai serangga. Contoh lain adalah seorang pertapa (biarawan) yang membakar jari-jari tangannya untuk menghindari godaan seksual. Pada periode-periode selanjutnya, praktik kebiaraan bersifat komunal (hidup bersama sebagai komunitas dengan peraturan tertentu yang mengikat).

 

Sumber ide kehidupan asketis seperti di atas tidak diketahui dengan pasti, sehingga menimbulkan kontroversi di kalangan para sarjana (C. T. Marshall, “Monasticisme”, Evangelical Dictionary of Theology, ed. by Walter A. Elwell, 728). Beberapa menduga orang-orang Kristen dipengaruhi oleh pola hidup sekte Yahudi Essenes/Qumran yang sangat saleh, sedangkan yang lain mengusulkan beragam aliran mistisisme bercorak dualistik Yunani sebagai pemicu lahirnya asketisisme. Pandangan mayoritas sarjana mengarah pada berbagai faktor yang bersumber dari pola pikir tertentu yang saling berkaitan. Faktor-faktor tersebut antara lain: (dikembangkan dari Earle E. Cairns, Christianity Through the Centuries, 3rd ed.. 90-93):

(1)   Konsep dualisme Yunani yang menganggap hal-hal materi (termasuk tubuh) jahat dan non-materi (spiritual) baik. Konsep ini semakin berpengaruh seiring dengan perkembangan ajaran Gnostisisme sejak abad ke-2 M.

(2)   Beberapa teks Alkitab yang dianggap mengajarkan penderitaan, misalnya selibasi (1 Kor 7:8), penjualan semua kekayaan (Mat 19:21//Mar 10:21//Luk 18:22), jalan keselamatan yang sempit (Mat 7:14). Sebagian sarjana menduga praktik asketisisme dilakukan orang-orang Kristen sebagai bentuk baru dari hidup yang menderita bagi Kristus, setelah sebelumnya mereka menderita dalam bentuk penganiayaan. 

(3)   Keinginan untuk menjauhkan diri dari kenyataan hidup di pusat kota yang cenderung sekuler, tidak teratur dan memberikan banyak godaan (Alister E. McGrath, Historical Theology, 95). Dekadensi moral tersebut semakin dipicu dengan masuknya kaum barbarian ke dalam gereja dengan gaya hidup mereka yang semi-kafir.

 

Pada periode selanjutnya penderitaan tampaknya semakin jauh dari kehidupan orang Kristen. Kebiaraan tetap berkembang, namun tidak seekstrim pada masa awal kebiaraan. Dominasi politik, ekonomi dan sosial yang dimiliki para rohaniwan membawa wajah kekristenan yang baru, yaitu kemewahan. Keadaan ini terus berlanjut, apalagi pasca revolusi kelautan dan industri. Walaupun ada aliran (ordo) kekristenan tertentu yang ingin kembali mempopulerkan konsep dan praktik penderitaan Kristiani, namun secara umum dapat dikonklusikan bahwa topik penderitaan tidak lagi menjadi isu dominan di kalangan kekristenan.

 

Situasi di atas sedikit berubah seiring munculnya kekristenan di negara-negara dunia ketiga. Keadaan negara-negara Asia, Afrika dan Amerika Latin yang relatif sangat miskin serta penganiayaan terhadap orang-orang Kristen memaksa para pekabar injil Eropa maupun para rohaniwan lokal untuk menafsirkan ulang dan mempopulerkan konsep Alkitab tentang penderitaan. Kazoh Kitamori (Theology of the Pain of God) dan G. Gutierrez (A Theology of Liberation) adalah dua contoh para pemikir Kristen yang ingin melihat kemiskinan, penindasan dan penderitaan dari perspektif Alkitab. Kitamori berpendapat bahwa penderitaan – yang dia percayai bersumber dari Allah yang menderita – merupakan inti dari teologi Kristen. Gutierrez mengambil sikap yang agak berbeda. Menurut dia orang Kristen tidak hanya dituntut untuk memberitakan kebebasan rohani, tetapi juga pengentasan kemiskinan dan penindasan. 

 

 

Evaluasi Terhadap Praktik Asketisisme 

Dari penelusuran sejarah singkat di atas terlihat bahwa sebagian orang Kristen (terutama pada periode kebiaraan) terjebak pada pola hidup mencari penderitaan. Ada beberapa hal positif yang ditawarkan oleh penganut asketisisme. Tindakan mereka didorong oleh motivasi yang baik, yaitu hidup kudus/rohani dengan sempurna. Mereka menyadari betapa bahayanya semua kesenangan duniawi (1Yoh 2:16). Tindakan mereka bisa dikatakan sebagai protes terhadap dekadensi moral yang terjadi di kalangan kekristenan. Mereka mengikuti Allah tanpa memusingkan keuntungan jasmani yang akan mereka peroleh. Mereka siap menderita apapun demi Kristus. Apa yang mereka lakukan sangat kontras dengan para pengikut Teologi Kemakmuran yang sudah dibahas dalam makalah sebelumnya.

 

Terlepas, dari semua kelebihan tersebut, asketisisme tetap merupakan penyimpangan dari prinsip Firman Tuhan. Pertama, konsep dualisme bersumber dari konsep tentang Allah yang salah. Beragam bidat kuno yang bersumber dari dualisme (misalnya Gnostisisme dan Manicheanisme) mempercayai eksistensi dua macam Allah: yang menciptakan hal-hal non-materi dan yang menciptakan hal-hal materi (biasa disebut Demiurgos). Dalam Alkitab, segala sesuatu – baik yang kelihatan maupun tidak kelihatan - bersumber dari Allah (Ef 3:9; Kol 1:17; Why 4:11). Allah adalah kudus dan baik, sehingga Dia tidak mungkin menciptakan sesuatu yang buruk/jahat. Karena segala sesuatu diciptakan oleh Allah, maka semua itu melayani Allah (Mzm 119:91) dan baik (1Tim 4:4). Alkitab bahkan menjelaskan bahwa tubuh manusia juga ditebus oleh Kristus (1Kor 6:19-20).

 

Kedua, teks-teks Alkitab yang dijadikan dasar telah disalahtafsirkan. Dalam 1 Korintus 7:8 Paulus tidak mengajarkan selibasi. Dalam konteks hubungan seks antara suami-istri, dia justru melarang suami-istri berpisah untuk jangka waktu yang lama. Dia bahkan menyebut seks sebagai “kewajiban” (ayat 3, thn ofeilhn apodidotw). Kata ini menunjukkan bahwa pasangan suami-istri saling berhutang secara seksual (Gordon Fee, The First Epistle to the Corinthians, NICNT, 279). Ayat 9 menjelaskan bahwa pilihan Paulus untuk tidak menikah merupakan anugerah Allah untuk orang-orang tertentu. Hal ini sesuai dengan ajaran Yesus di Matius 19:11-12 yang menyatakan bahwa tidak menikah adalah anugerah Allah.

 

Teks lain yang disalahtafsirkan oleh penganut asketisisme adalah perintah Yesus kepada orang muda untuk menjual seluruh kekayaannya (Mat 19:21//Mar 10:21//Luk 18:22). Ayat ini tidak bertendensi pada asketisisme, karena yang paling penting bukanlah “jual semua milikmu dan berikan pada orang miskin”, tetapi “ikutlah Aku” (D. A. Carson, Matthew, EBC, electr. ed.). Dengan kata lain, Yesus melihat bahwa harta orang muda ini merupakan penghalang terbesar bagi dia untuk mengasihi Allah dengan penuh totalitas. Perintah ini tidak boleh diaplikasikan pada setiap orang Kristen sebagai persyaratan kehidupan Kristen yang sempurna. Ketika Zakheus bertobat ia tidak diperintahkan Yesus untuk menjual segala miliknya. Sebaliknya, ia sendiri yang mengambil inisiatif untuk berbagi dengan orang lain (Luk 19:8). Yesus tidak menuntut beberapa perempuan kaya untuk menjual seluruh milik mereka (band. Luk 8:1-3).

 

Berkaitan dengan Matius 7:14, “jalan yang sempit dan sesak” di sini tidak mengajarkan asketisisme. Sesuai dengan konteks yang ada, yang dimaksud dengan jalan sempit dan sesak adalah karakter pemuridan yang radikal yang dituntut oleh Yesus sesuai dengan kotbah-kotbah yang sudah disampaikan (Donald A. Hagner, Matthew 1-13, WBC: Vol. 33a, electr. ed.). Dari keseluruhan Kotbah Di Bukit (Mat 5-7) tidak ada indikasi bahwa pemuridan yang radikal ini mencakup pola hidup asketisisme.

 

Kelemahan ketiga dari asketisisme adalah tindakan mengisolasi diri dari dunia. Dunia memang penuh godaan dan kejahatan (1Yoh 2:16), tetapi orang Kristen tidak boleh menarik diri dari dunia (band. 1 Kor 5:9-10). Walaupun Yesus mengetahui bahwa dunia pasti membenci murid-murid-Nya (Yoh 17:14), namun Ia tidak berdoa agar mereka diambil dari dunia (Yoh 17:15). Mereka tetap harus berada di dalam dunia untuk bersaksi dengan pertolongan Roh Kudus (Yoh 15:26-27). Dari sini terlihat bahwa pengikut Yesus tidak diijinkan untuk berkompromi dengan dunia maupun mencari keamanan dengan cara melepaskan diri dari dunia (D. A. Carson, The Gospel According to John, PNTC, 565).

 

Asketisisme juga bersalah dalam hal memahami konsep kerohanian. Bagi para penganut asketisisme, kerohanian hanya mencakup relasi vertikal antara manusia dengan Allah. Kerohanian hanya dibatasi pada hal-hal yang “sakral”, misalnya doa, meditasi, pembacaan firman, dsb. Konsep seperti ini jelas merupakan penyimpangan dari ajaran Alkitab. Dalam perspektif Alkitab, segala sesuatu terkait dengan Allah, karena itu tidak ada pembedaan antara yang sakral dan sekuler (John Stott, Isu-isu Global). Alkitab mengatur tentang berbagai hal, dari pertanian, potongan rambut, makanan, pekerjaan, dsb. Kerohanian tidak dibatasi oleh waktu, acara dan tempat. Kerohanian yang sejati justru adalah gaya hidup yang memuliakan Allah. Orang percaya dapat berjumpa dengan “Allah” dalam setiap detil kehidupan (baca R. Paul Stevens, Down To Earth Spirituality: Spiritualitas Yang Membumi). Paulus bahkan melihat pekerjaan seorang budak sebagai sebuah pelayanan (Kol 3:22-23). Dia bahkan menyatakan bahwa orang percaya dapat memuliakan Allah melalui makan atau minum atau melakukan apa saja yang tampaknya “sekuler” (1 Kor 10:31).

 

Konsep tentang spiritualitas yang salah seperti di atas pada gilirannya menimbulkan masalah lain lagi. Mereka yang menganut asketisisme cenderung melihat diri mereka lebih rohani dibandingkan orang-orang lain yang hidup normal di tengah masyarakat. Ketika Paulus membahas ajaran sesat asketisisme Yahudi yang menyerang jemaat di Kolose (Kol 2:20-22), dia menegaskan bahwa ibadah yang tampaknya penuh kerendahhatian dan menjauhi hawa nafsu tersebut ternyata justru hanya untuk kepuasan daging (Kol 2:23). Contoh paling jelas adalah masyarakat Qumran yang hidup mengisolasi diri dari komunitas di Yerusalem. Mereka menganggap diri mereka sebagai orang Yahudi tulen yang lebih rohani dan benar daripada semua orang Yahudi di Yerusalem.

 

Kelemahan terakhir, asketisisme tidak sesuai dengan ajaran Alkitab tentang sukacita jasmani. Salomo mengatakan bahwa tidak ada yang lebih baik bagi manusia selain makan, minum dan bersenang-senang atas segala jerih-payahnya (Pkt 2:23). Yesus sendiri sering menghadiri undangan pesta atau makan-makan (Yoh 2:1-11; Yoh 15:1-3). Dalam perumpamaan-Nya Yesus juga sering memakai gambaran tentang pesta (Mat 22:1-14; Luk 14:7-11, 16-24). Dia tidak melarang orang untuk mengadakan pesta, sebaliknya Ia menasehati mereka agar mengundang orang-orang miskin (Luk 14:12-14).  

 

 

Apakah orang Kristen Harus Menderita?       

Pertanyaan ini sebenarnya sangat sulit dijawab dengan gamblang. Di satu sisi Alkitab mencatat beberapa tokoh Alkitab yang secara jasmani tidak menderita. Allah bahkan beberapa kali menjanjikan kebahagiaan secara jasmani, misalnya memiliki keturunan (Kej 1:28), kemakmuran (Kej 12:1-3), posisi yang dihormati (Ul 28:13). Beberapa tokoh Alkitab hidup dalam kecukupan jasmani, misalnya Abraham (Kej 12:1-3; 13:1-2; 24:35), Ishak (Kej 26:13), Salomo (1 Kor 10). Dalam Perjanjian Baru beberapa pengikut Yesus adalah orang kaya, misalnya perempuan-perempuan yang mendukung pelayanan-Nya (Luk 8:2-3), Yusuf Arimatea (Mat 27:57), Matius (Mar 2:14//Luk 5:27) dan Zakheus (Luk 19:1-10) yang berprofesi sebagai pemungut cukai.

 

Di sisi lain, Alkitab mengajarkan bahwa penderitaan merupakan bagian integral dari status sebagai orang Kristen. Syarat mengikut Yesus adalah salib/kematian (Mat 16:24-25) dan meninggalkan segala sesuatu (Mat 19:21//Mar 10:21//Luk 18:22; Luk 14:26, 33). Pengikut Yesus tidak boleh takut dengan kematian (Mat 10:28; Yoh 12:24-26) atau penganiayaan (Luk 21:12-19), karena dunia memang pasti akan membenci mereka (Yoh 15:18-21). Yesus beberapa kali mengecam orang kaya, baik dalam interaksi-Nya dengan mereka (Mat 19:24//Mar 10:25//Luk 18:25; Mar 12:41-44) maupun dalam perumpamaan-perumpamaan yang Ia berikan (Luk 16:19-31). Ia memperingatkan para pengikutnya untuk mewaspadai ketamakan (Mat 6:19-24; Luk 12:15-21). Ia bahkan menyebut orang-orang miskin (Mat 5:3//Luk 6:20) dan teraniaya (Mat 5:12) sebagai orang yang berbahagia. Para rasul juga mengajarkan bahwa penderitaan dipakai Tuhan untuk mendatangkan kebaikan (Rom 8:28) supaya orang Kristen semakin dewasa dan teruji di dalam Tuhan (Rom 5:3-4; Yak 1:2-4; 1Pet 1:7-8).

 

Apakah dua gambaran Alkitab di atas saling berkontradiksi? Sama sekali tidak! Apa yang dikecam oleh Alkitab bukanlah kekayaan jasmani pada dirinya sendiri. Uang, kesehatan dan jabatan adalah sesuatu yang netral. Semuanya adalah milik dan berasal dari Tuhan (1 Taw 29:11-12). Seandainya materi pada dirinya sendiri adalah jahat, maka Tuhan pasti tidak akan memberikan yang jahat itu kepada Abraham, Ishak, Salomo dan tokoh Alkitab lain (band. Mat 7:9-10). Kalau materi itu jahat, maka Tuhan tidak akan memberikan perintah kepada umat-Nya agar memuliakan Dia dengan harta mereka (Ams 3:9).

 

Inti permasalahan sebenarnya terletak pada konsep (penghargaan) terhadap materi. Akar segala kejahatan bukanlah uang, tetapi cinta uang (1 Tim 6:10a). Ketika orang hidupnya terfokus pada materi saja, maka hatinya juga akan ada di sana (Matius 6:21). Orang ini pantas disebut sebagai hamba Mamon (Mat 6:24; Luk 16:13-14; 1Tim 3:3; 2Tim 3:2; Ibr 13:5). Orang muda yang kaya akhirnya tidak mampu mengikuti Yesus karena hartanya terlalu banyak dan hatinya telah tertambat pada hartanya (Mat 19:22). Orang percaya seharusnya mengarah diri pada hal-hal yang tidak dapat binasa (Yoh 6:26-27).

 

Ketika Yesus memberikan perintah kepada murid-murid untuk meninggalkan segala sesuatu – termasuk harta dan keluarga – hal itu tidak berarti bahwa mereka benar-benar melepaskan dan tidak menggubris hal itu lagi. Yesus sendiri tetap memperhatikan keluarga-Nya (Yoh 19:27). Ia memperhatikan ibu mertua Petrus (Mat 8:14). “Meninggalkan segala sesuatu” di sini berbicara tentang prioritas hidup. Pengikut Yesus harus membenci keluarga mereka (Luk 14:26) dalam arti “tidak mengasihi mereka sampai melebihi kasih kepada Kristus” (Mat 10:37). Pengikut Yesus tidak boleh mengasihi jiwa mereka melebihi mereka mengasihi Tuhan (Mat 10:28; 16:24-25), tetapi bukan berarti mereka semua harus mati martyr bagi Tuhan (Yoh 21:21-22). Pendeknya, semua orang Kristen harus menempatkan Tuhan sebagai prioritas pertama dan satu-satunya dalam hidup serta harus selalu siap apabila semua yang dimiliki diambil dari dirinya.

 

Kisah Ayub dalam Alkitab merupakan contoh paling bagus untuk menguji apakah seseorang mengasihi Tuhan melebihi yang lain atau tidak. Ayub adalah orang yang saleh (Ay 1:1, 5). Sesuai dengan teologi tradisional yang berkembang waktu itu, orang yang saleh selalu diidentikkan dengan kekayaan materi (Ay 1:2-3). Sesuatu yang krusial terjadi ketika iblis ingin mencobai Ayub. Menurut Allah, kesalehan Ayub bukan didasarkan pada berkat Allah (Ay 1:8), tetapi iblis meyakini bahwa Ayub mengikuti Allah hanya karena berkat-berkat-Nya (Ay 1:9-11). Kisah selanjutnya menunjukkan bahwa Ayub mengasihi diri Allah lebih daripada pemberian-Nya. Ia tetap memuji Tuhan sekalipun dia kehilangan segalanya (Ay 1:21) dan ia tetap tidak bersalah dengan segala yang dia lakukan (Ay 42:7-8). 

 

 

Penatalayanan (Stewardship)       

Alkitab berkali-kali menyatakan bahwa dunia dan segala yang ada di dalamnya adalah milik Tuhan (Mzm 89:12). Alkitab juga mengajarkan bahwa semua yang orang percaya miliki adalah berasal dari Tuhan (Ul 8:17-18; 1 Taw 29:14, 16). Tuhanlah yang menjadikan kaya, susah-payah tidak akan menambahinya (Ams 10:22). Tidak sesuatu yang dimiliki orang percaya yang tidak mereka terima dari Tuhan (1 Kor 4:7). Bagaimanapun, apa yang diberikan tersebut tetap menjadi milik Tuhan (1 Taw 29:11, 16; 1 Kor 3:21-23), karena orang percaya hanyalah penatalayan (steward). 

 

Sebagai seorang penatalayan seorang percaya perlu mempergunakan materi tersebut dengan sebaik-baiknya. Mereka perlu memahami alasan atau tujuan Tuhan memberikan materi kepada mereka. Semua itu harus memuliakan Tuhan (Ams 3:9), karena segala sesuatu adalah dari, oleh dan untuk Allah (Rom 11:36). Segala sesuatu harus melayani Tuhan (Mzm 119:91). Kekayaan bukanlah sebuah tujuan atau akhir. Kekayaan adalah sarana untuk melayani Allah. Sebagaimana Allah memberkati Abraham untuk menjadi berkat bagi semua orang (Kej 12:1-3) maupun meninggikan Yusuf supaya dia dipakai Tuhan untuk memelihara hidup banyak orang (Kej 45:5-7), demikian pula Allah memakai orang percaya untuk merealisasikan rencana-Nya di dunia melalui apa yang Dia berikan kepada mereka.

 

Walaupun sebagai penatalayan orang percaya tetap diberi ruang untuk menikmati apa yang mereka miliki (Pkt 2:21-23; 3:13), tetapi hal itu tetap harus dalam konteks memuliakan Tuhan. Bagaimana orang percaya dapat menggunakan harta mereka untuk kemuliaan Tuhan? Mereka harus mendisiplin diri memberikan apa yang harus mereka berikan pada Allah (perpuluhan [Mal 3:10; Mat 23:23] dan persembahan khusus lainnya [Luk 8:1-3]). Yang kedua mereka harus mengembalikan apa yang menjadi hak kaisar (pajak, Mat 22:17-21). Mereka juga harus memperhatikan orang-orang sekitar yang membutuhkan. Anggota keluarga (terutama orang tua) adalah sesama manusia yang perlu mendapat prioritas kasih dari orang percaya (band. Mat 15:4-6; 1 Tim 5:8). Berikutnya adalah saudara seiman (Gal 6:10) dan orang-orang lain yang kekurangan (Kel 22:22, 24; Ul 10:18; 14:29; 16:11, 14). Pemberian kasih kepada sesama tubuh Kristus merupakan penerapan prinsip prinsip keseimbangan: yang kuat menanggung yang lemah (2 Kor 8:13-14). Kita perlu mengutamakan saudara seiman daripada orang luar (Gal 6:10). Orang percaya juga harus mengasihi sesama mereka yang tidak seiman sekalipun (Mat 5:43-48; Luk 10:29-37). 

 

Sumber : http://www.gkri-exodus.org

 

Profil Ev. Yakub Tri Handoko :

Ev. Yakub Tri Handoko, M.A., Th.M. adalah gembala sidang Gereja Kristus Rahmani Indonesia (GKRI) Exodus, Surabaya. Beliau meraih gelar Sarjana Theologia (S.Th.) dari Sekolah Tinggi Alkitab Surabaya (STAS), gelar Master of Arts (M.A.) dan Master of Theology (Th.M.) dari International Theological Seminary, USA (President : Rev. Prof. Joseph Tong, Ph.D. adik kandung Pdt. Dr. Stephen Tong). Beliau juga melayani sebagai dosen di Sekolah Tinggi Theologia Injili Abdi Allah (STT-IAA) Pacet. Selain itu, beliau juga melayani sebagi dosen di Sekolah Theologia Reformed Injili Surabaya (STRIS) Ngagel dan Institut Teologi Indonesia (INTI) Surabaya dalam Program M.A. Kepemimpinan Kristen.

 

Comments
Add NewSearch
Write comment
Name:
Subject:
[b] [i] [u] [url] [quote] [code] [img] 
 
 
:angry::0:confused::cheer:B):evil::silly::dry::lol::kiss::D:pinch:
:(:shock::X:side::):P:unsure::woohoo::huh::whistle:;):s
:!::?::idea::arrow:
 
Security Image
Please input the anti-spam code that you can read in the image.