Hamba Tuhan
Login





Lost Password?
No account yet? Register
Find Us on Facebook
Shalom, bagaimana kabar Anda hari ini? Silahkan login atau register.
Cadar Yang Terkoyak 2/21 PDF Print
User Rating: / 5
PoorBest 
Monday, 03 September 2007

Saya mendengarkan penjelasan beliau yang membentuk tulisan-tulisan sendiri dalam loh pikiran dan hatiku. Jika masih ada waktu, saya masih meminta beliau menjelaskan kepadaku tentang gambar yang tergantung di kamarku. Bagaimana menunaikan ibadah haji di kota suci Mekah yang merupakan maknit ke arah mana setiap umat Islam berkiblat sewaktu berdoa lima kali sehari. Di dalam kotaku, kamipun berkiblat kesana, sewaktu muazzin mengumandangkan azzan dari kubah mesjid. Suara tersebut memantul sepanjang jalan-jalan mengatasi keributan lalu-lintas dan bazzar serta memasuki jendela-jendela kami yang dipasangkan gorden, baik diwaktu fajar, tengah hari, sore serta malam, memanggil umat yang setia untuk berdoa dengan deklarasi Islam yang pertama : "Allah Maha Besar"!!! Tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah rasul Allah". Ayah memberikan penjelasan tentang semua ini.

Beliau telah dua kali menunaikan ibadah haji : sekali sendirian dan kami berikutnya bersama istrinya: ibuku. Bagi setiap umat Islam merupakan kewajiban untuk menunaikannya sekali seumur hidupnya atau lebih sering kalau mampu. Menunaikan ibadah haji adalah rukun ke lima dari rukun Islam yang mempersatukan berjuta-juta umat Islam dari berbagai negara yang berbeda serta memberi keyakinan terhadap kesinambungan bagi iman kami.

"Apakah saya akan ke Mekah, ayah?" tanyaku.

Beliau tertawa seraya membungkuk untuk mencium keningku. "Engkau akan kesana, Gulshan kecil, apabila kau sudah lebih besar dan barangkali......... Ayah tidak menyelesaikan kalimat tersebut, namun saya mengerti bahwa beliau hendak mengatakan......... apabila doa kita untukmu telah dijawab.

Dengan berpedoman pada perintah-perintah ini saya belajar berbakti kepada Allah terikat dengan agamaku serta tradisinya, memiliki perasaan bangga yang menyala-nyala terhadap garis keturunan nenek moyangku sejak Nabi Muhammad melalui menantunya Ali, dengan memahami akan martabat ayahku yang bukan hanya merupakan kepala keluarga tapi juga sebagai keturunan Nabi, seorang Sayed dan seorang Shah. Beliau juga adalah seorang Pir, pemimpin agama serta seorang tuan-tanah yang memiliki tanah yang luas di pedalaman dan sebuah bungalow luas yang dikelilingi halaman-halaman di pinggiran kota kediaman kami.

 

Saya mulai memahami kenapa keluarga kami begitu disegani, termasuk oleh para pemuka agama (mullah), atau maulvi yang datang bertanya pada ayah mengenai masalah keagamaan yang tidak dimengertinya.

Sambil mengenangkan kembali semuanya, kini saya dapat melihat akan adanya suatu maksud yang terkandung selama masa saya terkungkung sebegitu lama seumpama kuncup bunga mawar di pekarangan kami yang dipelihara begitu baik oleh tukang kebun.


Namaku GULSHAN, dalam bahasa Urdu artinya tempat bunga-bungaan berkembang, yaitu halaman.

 

Keadaan saya malah merupakan sebuah tanaman yang sakit-sakitan untuk dapat menyandang nama seperti itu, juga dipelihara dengan penuh kasih oleh ayahku.

 

Beliau mencintai kami semua - dua puteranya Safdar Shah dan Alim Shah serta ketiga putrinya, Anis Bibi, Samina dan saya sendiri.

Walaupun beliau kecewa karena waktu lahir ternyata saya seorang perempuan,  kemudian waktu berumur 6 bulan menjadi lumpuh karena terserang penyakit typhus, namun ayah tetap mencintaiku, malah kurasakan melebihi kasihnya terhadap saudara-saudaraku yang lainnya.


Bukankah ibuku pada saat-saat akhir hayatnya di pembaringan kematiannya mengajukan permintaan kepada ayah untuk memelihara saya?

"Saya memohon kepadamu Sah-ji, janganlah kawin lagi demi si Gulshan kecil" pinta ibu sambil menghembuskan napasnya yang terakhir. Beliau ingin melindungiku, karena kehadiran seorang ibu tiri dan  anak-anaknya akan menyebabkan hak warisan bagi anak perempuan dari istri pertama akan berkurang tambahan pula mereka dapat memperlakukannya dengan buruk jika anak perempuan itu sakit-sakitan, apalagi kalau sampai tidak kawin.

Telah bertahun-tahun lamanya sejak ayah berjanji pada ibuku dan beliau tetap menepatinya walaupun ayah hidup disuatu tempat dimana seorang pria diijinkan beristri sampai empat orang sesuai Al Quran, jika ia cukup kaya untuk memperlakukan masing-masing istrinya secara adil. Keadaan seperti inilah yang merupakan pola kehidupanku sampai waktu saya mengunjungi Inggris pada usia 14 tahun, Secara terselubung, keadaan ini justru secara berangsur-angsur merobah segala sesuatu, tersusun menjadi gerakan yang merupakan mata-rantai yang membawa dampak tidak terduga. Tentu saja saya tidak merasakan firasat bahwa hal ini akan terjadi pada waktu saya menunggu dalam sebuah kamar hotel di London pada hari ketiga sejak kami tiba disana ditemani para pembantuku Salima dan Sema.

Waktu itu kami menantikan keputusan seorang dokter spesialis, seorang Inggris, yang direkomendasikan kepada ayahku, ketika beliau mencari-cari pengobatan bagiku di Pakistan. Jika saya dapat disembuhkan dari penyakit yang telah melumpuhkan bagian kiri tubuhku sejak bayi, maka saya akan bebas untuk menikah dengan sepupuku yang telah dipertunangankan dengan saya sejak berusia 3 bulan dan sekarang sedang menunggu-nunggu di Multan Punjab, menantikan berita kesembuhanku. Jika tidak sembuh, maka pertunanganku akan diputuskan dan perasaan maluku akan lebih besar lagi dibandingkan dengan keadaan bila dikawinkan lalu diceraikan suamiku.

Kami mendengarkan bunyi langkah mendekat, Salima dan Sema berlompatan berdiri dan dengan gugup mengatur "dopatta"nya yang panjang berbentuk seperti selendang. Salima menarik gaunku sampai keatas wajahku dan saya sendiri berbaring di atas alas tempat tidurku. Saya menggigil namun bukan karena kedinginan. Malah terpaksa saya mengatupkan gigiku agar berhenti gemeretak. Pintu terbuka dan ayah masuk bersama dokter, selamat pagi sapanya dengan suara yang amat menyenangkan dan sopan. Saya tidak dapat melihat wajah dokter David tersebut, namun rasanya beliau adalah seorang yang berwibawa dan terpelajar. Tangan-tanganya yang koko kuat mengangkat gaunku keatas lalu melakuka pengujian pada lengan kiriku yang lemas, sesudah itu pada kakiku yang sudah tidak berdaya.

Tidak ada obat untuk sakit ini - kecuali doa, kata dr.David kepada ayahku. Rasanya tidak terdengar ada ucapan yang salah pada kata akhirnya yang lemah itu. Sambil berbaring di dipan terdengar olehku dokter Inggris yang asing itu menyebut nama Allah. Saya bingung. Bagaimana gerangan ia mengetahui tentang Allah? Dari cara-caranya baik dan simpatik saya merasakan bahwa beliau sedang membangkitkan harapan kami terhadap kesembuhanku, malah ia mengajarkan kepada kami cara berdoa. Ayah mengantarkannya sampai ke pintu.

 

Ketika kembali beliau berkata: "Alangkah baik bagi orang Inggris itu mengajari kita caranya berdoa". Salima membalikkan "dopat"ta"ku seraya membantuku duduk. "Ayah, apakah beliau tidak dapat membuat keadaanku menjadi lebih baik?" Saya tidak dapat menahan suaraku agar tidak terdengar gemetar. Air mata menumpuk di pelupuk mataku. Ayah mengusap tanganku yang tidak berdaya. Katanya dengan cepat:"Hanya ada satu jalan lagi sekarang. Mari kita mengetuk pintu sorga. Kita akan pergi ke Mekkah sesuai rencana kita. Allah akan mendengar doa-doa kita dan kita masih dapat pulang dengan perasaan syukur".

Beliau tersenyum padaku dan saya berusaha tersenyum kembali. Kesedihanku sama besar dengan kesedihannya namun beliau tidak berputus asa. Pada suaranya terdengar adanya harapan baru. Tentu saja di Rumah Allah atau pada mata-air Zam-Zam, mata-air kesembuhan, bukankah kita akan memperoleh apa yang menjadi keinginan hati kita?

Kami masih tinggal lagi di hotel itu beberapa hari dan kesempatan ini dignakan ayah untuk mengurus penerbangan kami ke jedah, lapangan terbang yang biasanya digunakan para jemaah haji untuk menuju Mekkah. Sebelum itu beliau belum mengurus hal ini karena masih menunggu hasil pengobatan yang telah dianjurkan bagiku. Kunjungan ini telah beliau rencanakan sedemikian agar bertepatan dengan masa menjelang bulan hanji tahunan sehingga sesudah pengobatan kami dapat menuju Mekkah untuk mengucap syukur.

Selama waktu penantian ini ayah berkesempatan mengunjungi kawan-kawan masyarakat Pakistan atau sebaliknya mereka datang mengunjungi beliau. Biasanya para wanita dari keluarga-keluarga tersebut akan mengunjungi saya. Tapi saya merasa malu dengan keadaanku serta tidak terbiasa menemui tamu-tamu asing di rumah sehingga hanya sedikit dari mereka yang datang mengetuk pintu kamarku.

Siapakah yang suka melihat lengan yang layu, kulit yang menghitam berkeriput dan lemah-lunglai serta jari-jarinya terjalin bersama dengan otot sehingga bentuknya seperti selai?. Pada usia di mana kawan-kawan sebayaku mulai berangan-angan tentang hari, waktu mereka akan mengenakan gaun pengantin berwarna merah dengan sulaman emas kemudian  berjalan-jalan mengenakan perhiasan dengan membawa mas-kawin yang bagus ke rumah suaminya, maka keadaanku sebaliknya sedang menghadapi masa-depan yang sunyi, terputus dari hubungan dengan kawan-kawan sebaya/sejenisku, suatu makluk non-manusia, tidak akan pernah sembuh menjadi perempuan yang sempurna, ditudungi dengan kerudung yang memalukan.

Tempat kami terletak pada tingkat dua hotel itu, kamarnya menyenangkan persis di sebelah kamar ayah. Ruangan itu beralaskan permadani tebal, mempunyai kamar mandi sendiri. Di samping merawatku serta mencuci pakaian-pakaian dalam kami dengan tangan di kamar mandi, Salima dan Sema yang tidur di kamarku di atas tempat tidur lipat secara bergantin duduk menjaga dan melayani kebutuhanku, hampir tidak ada tugas lain lagi untuk mereka kerjakan namun, sambil membaca buku-buku, melaksanakan sholat 5 waktu, jam rasanya berjalan cukup cepat karena disamping mencuci pakaian, maka memberi makan bagi seorang cacat selalu membutuhkan waktu yang lebih lama.

 

Saya pernah mendengarkan keduanya berkasak-kusuk menggelikan. Sesekali mereka menyelinap ke lobby bawah, namun terlalu takut untuk keluar sendirian. Mereka merasa puas dengan melewatkan waktu-waktunya seperti itu,berkesempatan melihat dunia luar melalui jendela dan melaporkan padaku apa yang mereka lihat.

 

Reaksi-reaksinya polos sebagaimana layaknya gadis-gadis desa Pakistan dan hal ini membuat saya tertawa. "Oh lihat kota yang indah ini" kata Salima, banyak orang lalu-lalang dan banyak sekali mobil." Kemudian Sema menjerit: "Oh, para wanita tidak mepunyai perasaan malu. Mereka tidak menutupi kakinya. Lelaki dan perempuan berjalan bersama, bergandengan tangan. Mereka berciuman. Oh, mereka langsung ke neraka."

Kami telah diajarkan tentang peraturan-peraturan yang ketat tentang tata-cara berpakaian serta berperi-laku sejak kecil. Kami menutup diri kami dengan sopan dari leher sampai pergelangan kaki mengenakan "shalwar kameeze" dari Punjab - jubah longgar dan celana panjang yang ujungnya terkumpul di pergelangan kaki.

 

Mengelilingi leher kami mengenakan sehelai selendang lebar atau dopatta yang dapat berfungsi sebagai penutup kepala bila diperlukan atau pun ditarik menutupi wajah dan dengan demikian kami pun dapat menutupi diri memakai syal bila dingin. Jika kami harus keluar maka kami mengenakan burka - sebuah kerudung panjang yang tidak tembus pandang, menutupi diri kami dari kepala sampai ke tumit, terkumpul menjadi sepotong pelindung kepala yang mempunyai celah di depan untuk keperluan melihat dan mendengarkan lalu-lintas.

Pada waktu itu kami tidak mempertanyakan tentang aturan-aturan yang diberikan kepada kami dan tentu saja takut untuk menentang kebiasaan-kebiasaan tersebut. Pada kenyataannya, kami merasakan bahwa kerudung itu merupakan pelindung. Kami  dapat melihat ke dunia luar sebagaimana adanya, tapi dunia tidak dapat melihat kami. Waktu kami menyaksikan bagaimana para wanita di London memamerkan dirinya mengenakan Mini-skirt yang tidak sopan dimana ujungnya cukup jauh diatas lutut, maka jelas bagi kami bertiga bahwa kota ini merupakan kota yang paling maksiat di dunia. Di negeri kami, terutama dikotaku, untuk bercakap-cakap dengan seorang  pria yang bukan kerabat dekat ataupun kepada pembantu pria dapat menyebabkan kami dianggap hina.

Manfaat "purdah" secara menyeluruh tentu saja sebagai pelindung kehormatan keluarga. Tidak boleh terlihat adanya gejala atau noda sedikitpun yang mencurigakan melekat pada diri para puteri keluarga Islam. Hukuman terhadap kesembronoan dalam hal ini bisa fatal. Tiga kali dalam sehari seorang pelayan mengantarkan makanan dengan menggunakan rak-dorong. Pembantuku akan mengambil dari pelayan iu didepan pintu. Kadang-kadang seorang pembantu wanita Inggris menyertainya, diwaktu mana saya akan menutup mataku agar tidak melihat kaki-kakinya. Saya mulai bosan dengan makanan-makanan hotel itu. Tiap hari ayah memesan masakan ayam bagi kami karena inilah yang halal, daging yang diperkenankan, dipotong mengikuti tata-cara yang diperbolehkan oleh agama. Babi merupakan daging yang haram dan dilarang, bahkan untuk menyebut kata "babi" saja dapat menyebabkan mulut menjadi najis. Sampai sekarang saya masih menggunakan kata dibayangkan betapa kuatnya pengaruh hasil didikan dasar sejak kecil. Setiap daging yang lainpun dapat dicurigai bahwa mungkin dimasak memakai minyak babi. Sayur-sayuran dihidangkan bersama ayam ditambah pelezatnya es krim. Minuman kami coca cola dan cukup banyak persedian di dalam kamar. Saya mengharapkan kiranya muncul masakan memakai bumbu "kari" atau "kebab" namun sia-sia saja, begitu juga buah-buahan misalnya buah persik atau mangga dari pepohonan dihalaman rumahku.

Ayah membantu membangkitkan kegembiranku dengan membawa saya berkeliling keluar sebentar, 2 atau 3 kali. Sekali saya diajak berkeliling sekitar hotel dan 2 kali bersama kedua pembantuku memakai taksi. Beliau memberikan penjelasan padaku tentang kenapa orang-orang Inggris berbeda dengan kami ialah : Negeri ini adalah sebuah negeri Kristen. Mereka percaya pada Nabi Isa, Yesus Kristus sebagai Anak Allah. Tentu saja mereka salah, karena Allah tidak pernah kawin dan bagaimana mungkin Ia beranak?. Tetapi mereka juga adalah umat yang memiliki sebuah kitab suci sebagaimana halnya dengan kita. Umat Islam dan umat Kristen mendasarkan Imannya pada Kitab Suci yang sama itu. Hal ini merupakan teka-teki bagiku. Kenapa kita mempunyai dasar Kitab Suci yang sama namun perbedaannya begitu banyak? Mereka bebas melakukan banyak hal, sedangkan tidak demikian dengan kita kata ayah.

"Mereka bebas makan daging babi serta minum minuman keras. Tidak ada pembatasan antara pria dan wanita. Mereka hidup bersama tanpa nikah dan bila anak-anaknya dewasa, mereka tidak menghormati orang-tuanya. Namun mereka orang-orang baik, sangat tepat waktu serta memiliki prinsip-prinsip yang baik. Bila berjanji mereka menepatinya, tidak seperti orang Asia. Ayah berpengalaman dan terpandang dalam bidang perdagangan. Beliau selalu berhubungan dengan orang-orang asing dalam mengekspor katun yang ditanam di Pakistan. "Kita dapat saja berbeda agama dengan mereka, namun, mereka merupakan orang-orang yang simpatik bila bekerja sama serta memiliki perasaan peri-kemanusiaan" kata ayah mengakhiri penjelasannya.

Saya merenungkan kontrakdisi tentang orang Inggris ini - bangsa yang memiliki kasih, tinggal di negara yang orang-orangnya lemah-lembut dimana hujan sering turun dan Kitab Sucinya memberikan begitu banyak kemerdekaan bagi mereka. Malah Kitab Suci kami masih punya kaitan dengan Kitab Sucinya. Apakah sebenarnya kunci perbedaan ini? Bagi seorang gadis 14 tahun, hal ini masih terlalu dalam - pertanyaan itu saya hilangkan dari pikiranku lalu bersiap-siap menyongsong perjalanan berikutnya. Diperlukan Waktu bertahun-tahun lamanya bagiku sebelum hal ini menjadi jelas dan sesudah menemukan kejelasannya itu maka saya tidak dapat menganggap pertanyaan tersebut sebagai hal yang sepele.

 

Bersambung Ke Bagian (3)

 

Comments
Add NewSearch
Write comment
Name:
Subject:
[b] [i] [u] [url] [quote] [code] [img] 
 
 
:angry::0:confused::cheer:B):evil::silly::dry::lol::kiss::D:pinch:
:(:shock::X:side::):P:unsure::woohoo::huh::whistle:;):s
:!::?::idea::arrow:
 
Security Image
Please input the anti-spam code that you can read in the image.
 
< Prev   Next >