Hamba Tuhan
Login





Lost Password?
No account yet? Register
Find Us on Facebook
Shalom, bagaimana kabar Anda hari ini? Silahkan login atau register.
Cadar Yang Terkoyak 15/21 PDF Print
User Rating: / 1
PoorBest 
Friday, 21 September 2007

TERPERANGKAP
Saya berdiri diruangan duduk rumah wanita yang kucari itu yang menatapku secara seksama. Beliau seorang wanita yang sangat cantik, perawakannya lebih tinggi dari saya, berkulit putih, rambut pendek. Ia mengenakan sebuah "Shalwar kameeze" merah muda serta sebuah baju dingin lengkap dengan syal bersulam disekeliling bahunya. Beliau tersenyum manis padaku. "Betapa baiknya anda meluangkan waktu mengunjungi saya. Rasanya kita belum pernah berjumpa sebelumnya! Suamiku sedang tidak dirumah sekarang. Ia di Islamabad sampai malam nanti. Ia seorang yang baik". Saya katakan bahwa saya telah mendengar tentang suaminya yang adalah seorang yang penting.

Nyonya menundukkan kepalanya yang anggun lalu meminta teh buat kami. Sambil menikmati teh dari mangkuk cina bercorak bunga-bungaan beliau melayani saya dengan percakapan yang sangat menyenangkan dan sopan, menanyakan tentang kesehatanku dan bagaimana perjalananku dari Gujarat. Beliau sangat prihatin mendengarkan keadaan Anis. Saya tidak meneruskan percakapan tentang hal ini secara terperinci karena merasa bahwa mungkin beliau tidak menghendaki para pelayan mendengarkan tentang apa yang akan kukatakan.

Selesai minum teh beliau mempersilahkan saya mengikutinya. Saya dibawa kekamar tidurnya, menutup pintunya, mempersilahkan saya duduk lalu mulai mengajukan pertanyaan yang sejak tadi belum diutarakan diantara kami,"Kenapa anda datang tanpa memakai kerudung? Dan mengapa seorang diri? Dalam keluargamu gadis-gadis tidak keluar rumah seperti ini. Apa yang terjadi atasmu? Apakah kau menemui sesuatu kesulitan?"

Saya mengenakan sebuah baju putih dengan Shalwar Kameeze dan ada sebuah selendang yang dililitkan sekeliling kepalaku. Sudah lama saya berhenti mengenakan Burka. Namun, saya tidak berkeinginan untuk bersoal jawab tentang hal itu sekarang.

Saya menjawab, "Nyonya merasa terkejut waktu melihat saya tidak memakai kerudung. Apakah nyonya tidak terkejut waktu melihat saya dapat berjalan? Nyonya kan tahu bahwa saya ini seorang yang lumpuh dan sakit ditempat tidurku selama 19 tahun !"

"Saya tahu tentang hal itu. Sekarang ceritakan padaku, siapakah dokter yang mengobatimu sampai engkau dapat sembuh sempurna seperti itu?"

"Akan kutunjukkan dokterku kepada nyonya". Saya membacakan baginya cerita tentang seorang lumpuh diangkut oleh 4 orang dan disembuhkan Yesus dalam Markus 2 : 9-11. Kemudian kuberikan padanya Alkitab bahasa Urdu agar dibacanya sendiri. Diambilnya buku itu seolah-olah akan memegang seekor ular, memandangnya sekejap lalu mengembalikannya kepadaku. "Buku ini milik orang-orang Kristen," katanya ketus.

"Benar, dan saya juga seorang Kristen" jawabku.
Beliau memegang lengan kursinya erat-erat, "Apakah tidak salah pendengaranku?"
"Itulah yang sebenarnya, sekarang saya telah menjadi milik pribadi yang memberikan kesembuhan padaku."

"Sebenarnya apa yang kau maksudkan dengan hal itu?"

Maka saya menceritakan padanya cerita itu tanpa menyebut sesuatu nama Kristen. Tuan rumahku berusaha menenangkan dirinya. Ia bangkit dari kursinya dan berjalan dengan langkah-langkah pendek di sekeliling ruangan itu lalu duduk berhadapan dengan saya lagi sambil condong ke depan, memandang padaku dengan sangat prihatin tapi lantas katanya, "Jika Yesus menyembuhkanmu, apakah merupakan suatu keharusan untuk menjadi Kristen ?"

"Dalam kasus saya, Ya. Saya telah menemukan hidup yang baru dan kini saya menjadi milik Pribadi itu yang telah memberikan padaku suatu hidup baru. Oleh sebab inilah saya telah diusir dari rumahku. Namun, saya tidak datang kemari untuk mendiskusikan agama dengan Nyonya. Saya datang untuk memohon bantuan Nyonya, sekiranya dapat membantuku mendapatkan pekerjaan pada salah satu lembaga kewanitaan yang Ibu pimpin. Dapatkah Ibu membantu? Pekerjaan yang sederhanapun boleh, saya tidak mengharapkan pekerjaan dengan gaji besar".

Terdiam sebentar. Beliau memperhatikan corak-corak permadani yang bagus itu. "Demikian rupanya, tidakkah kau tahu bahwa sebenarnya saya berpikir ada seseorang telah menculikmu dari rumahmu dan kau dapat lolos kemari untuk mencari pertolongan." Beliau tertawa kecut. "Baiklah, kau akan bermalam di sini semalam dan besok saya akan mengatur sesuatu bagimu."

Saya mendapat kamar sendiri dan makan malam yang dihidangkan oleh salah seorang pembantunya. Hubungan keluarga, walaupun sebegini jauh, bagaimanapun lebih erat dari yang saya perkirakan.

Besok paginya sesudah saya sarapan sendirian di ruangan-makan, saya bertemu dengan suaminya. Beliau segera menegurku dengan sopan dan meminta saya meninggalkan Kristen. Tentu saja saya dengan cara yang sopan, saya menolak permintaannya. Di dalam diriku saya menggigil karena kini saya berhadapan dengan seseorang yang berpengaruh dalam pemerintahan. Baginya akan mudah sekiranya beliau mau menyikat saya seperti menghadapi seekor nyamuk yang mengganggu, walaupun saya adalah sahabat dekat keluarganya. Beliau berkata, "Pikirkanlah tentang apa yang kau katakan. Masih ada waktu bagimu untuk kembali lagi ke Islam dan saya akan mengatur agar kau dapat berdamai lagi dengan keluargamu."

Apakah secara tidak langsung tersirat di dalamnya sesuatu ancaman? Saya menarik napas dan menenangkan syarafku. Saya mempunyai suatu kesempatan kali ini yang tidak boleh kubiarkan berlalu.

"Terima kasih, namun maaf, tidak" jawabku, "Saya tidak bertengkar dengan mereka, saya tidak bermusuhan dengan siapapun, Pribadi yang saya percayai ialah Raja Damai dan Dia juga memberi Damai kepada Bapak." Kata-kata itu keluar dari mulutku sebelum saya menyadarinya.

"Kenapa anda tidak meninggalkan kekristenan itu?" katanya dengan nada yang agak menunjukkan kehilangan kesabaran, "Jika anda tidak mau tinggal dengan kakak-kakakmu, mari tinggal bersama kami selama hidupmu."

Tawaran ini baik sekali dan saya yakin beliau mengutarakan dengan tulus.

 

"Terima Kasih, tapi kekristenanku bukan hanya sekedar agama dimana seseorang dapat melepaskannya bila dia merasa bosan, melainkan merupakan suatu perubahan hidup bagiku. Jika saya berhenti hidup dalam Kristus maka saya akan mati." Lalu saya menambahkan, "Sekiranya bapak tidak dapat membantu untuk mendapatkan sesuatu lowongan kerja bagi saya, katakanlah lalu saya akan pergi dan tidak akan mengganggu bapak lagi".

"Oh ya kami akan mengatur sesuatu untukmu". Beliau mengerdipkan matanya kepada istrinya sambil berjalan keluar. Saya mendengar istrinya memanggil sopir untuk menyiapkan mobil.

"Mari", katanya dan kami masuk kedalam mobil dan berangkat menuju arah kota. Mobil itu berhenti diluar sebuah pintu gerbang besi yang besar dikelilingi dinding-dinding yang tinggi. Di atasnya saya dapat melihat sebuah bangunan beton yang besar. Sebuah tanda menyebutkan bahwa tempat itu ialah Penjara Pusat Rawalpindi. Jadi rupanya disinilah tempat saya bekerja.

Si sopir memanggil penjaga yang membuka pintu gerbang itu. Kawanku, Nyonya tersebut membawaku masuk ke kantor pengawas dan berbicara sebentar dalam bahasa Inggris, jelas rasanya tentang saya. Lalu pengawas membunyikan lonceng dan seorang wanita setengah baya muncul dengan setumpuk kunci yang bergemerincing bunyinya. Pengawas itu mengatakan sesuatu kepadanya yang tidak dapat kudengar dan mengangguk kearahku lalu wanita itu berkata "Mari". Nyonya, kawanku yang baik hati itu berkata, "Anda pergi bersama wanita ini. Tempat ini akan lebih baik buat anda."

Saya berterima kasih padanya dengan hangat dan mengikuti wanita itu keluar melewati serambi. Sebuah gerbang yang dipalang dibuka lalu wanita itu membawa saya kedalam sebuah ruangan yang panjang seperti aula dengan langit-langitnya yang tinggi dan tidak berjendela. Cahaya yang masuk kesana datangnya dari gerbang berjeruji besi yang dipasangkan kesalah satu dinding.

Ada satu lagi gerbang tertutup diseberangnya. Ada kira-kira 10 wanita berjongkok diatas tikar-tikar anyaman daun palem yang kotor, ada yang berbaring atau bersandar di dinding dengan sikap-sikap merengut atau acuh tak acuh. Saya mendengar bantingan pintu tertutup di belakangku lalu dikunci dan tanpa daya memandang ke arah wanita yang paling dekat denganku.

"Apa yang terjadi? Dimanakah pekerjaan yang akan kulakukan?"

"Pekerjaan? Tidak ada pekerjaan disini. Kau berada di penjara, sama seperti kami. Apakah yang telah kau lakukan sehingga dijebloskan kesini?"

Saya memerlukan waktu satu-dua menit untuk menyadarinya. Apa yang dinamakan sahabat dekat keluarga ini telah menjebloskan saya ke penjara dengan alasan karena saya seorang Kristen. Saya telah dikelabui dan terperangkap. Saya berlari ke pintu gerbang dan menggoncang-goncangkan palangnya. Tidak ada seorangpun yang datang, saya memanggil manggil, tidak ada yang menjawab, kecuali wanita muda yang telah berbicara padaku tadi.

"Engkau dapat berteriak-teriak sekuat-kuatmu tidak akan menolong untuk membuatmu keluar dari sini." Saya berpaling padanya, "Tempat apakah ini?"

"Anda harus tahu, oh orang yang masih hijau, tempat ini ialah Penjara penitipan, tempat seseorang ditahan menunggu untuk diadili atau jika kau dapat menemukan seseorang yang akan menebusmu keluar". Cara mengutarakannya lebih keras lagi, kedengarannya dari yang diucapkannya.

Saya berusaha untuk tetap tenang dan berpikir. Berapa lamakah saya akan di tahan disini? Kejahatan apa yang akan mereka tuduhkan padaku? Apakah menjadi pemeluk Kristen merupakan kejahatan? Jelas, menurut undang-undang dasar, menjadi kelompok minoritas bukanlah sesuatu kejahatan. Namun, menurut hukum Islam, saya telah melakukan sesuatu kejahatan yang sangat besar dan bagi keluargaku tindakanku telah menjadi suatu kenajisan.

Pikiran itu mengingatkan saya, akan janji Anis untuk datang menemui saya. Saya yakin kakakku akan segera datang. Kemudian mataku tertuju kearah tasku-merupakan suatu keuntungan bagiku tas itu tidak mereka sita dariku. Dan Alkitabku ada didalamnya bersama beberapa potong pakaian yang merupakan harta kekayaan tidak ternilai di tempat seperti itu.

Saya melihat sekelilingku lebih teliti lagi. Dimana saya dapat beristirahat disini? Panjang ruangan itu kira-kira 25 meter, ada tiga atau empat kamar disamping-sampingnya dimana diletakkan tempat-tempat tidur besi ditutup dengan selimut tebal berwarna gelap. Udara disini dingin karena aliran udara malam Himalaya, yang masuk melalui lobang berjeruji dari gerbang yang dipalang itu. Namun, sepintas lalu saya berkata kepada diriku bahwa saya tidak akan dapat tidur disini.

Kamar-kamar itu sangat gelap, tanpa aliran udara, tanpa jendela seperti kuburan-kuburan saja layaknya. Dan saya tidak mau digigit hidup-hidup oleh seranga-serangga yang menghuni selimut-selimut itu. Diluar, dilantai yang dingin, keras dan kotor itu, wanita-wanita lainnya membungkus diri mereka seluruhnya dengan seprei dan bertiduran di atas tikar-tikar kotor.

Sambil membungkus diriku dengan kain sebanyak mungkin yang tersedia dan dapat dipakai, sepanjang malam saya duduk terus sambil terkantuk-kantuk memandang lewat jeruji-jeruji penjara ke langit malam yang bersih disinari bulan dan bintang-bintang. Kebersihan makanan merupakan suatu masalah yang terus menerus menyakitkan hatiku, begitu juga yang dirasakan wanita-wanita lainnya.

Bau yang tidak sedap yang tercium didalam ruangan itu menunjukkan bahwa ada kamar kecil didekatnya sedangkan air untuk menyiram tidak cukup begitu juga peralatan untuk mencuci yang layak - yang ada hanya sedikit air sebanyak satu 'muntuka' atau ember dan merupakan jatah untuk dibagikan diantara kami selama sehari penuh oleh tukang air. Ada sebuah mangkuk yang dipasangkan rantai diikatkan pada bagian atas ember, dua gelas untuk minum dan sebuah 'lotha' untuk keperluan air wudhu. Saya tidak pernah melihat seorangpun yang menggunakannya selama saya disana. Bersembahyang merupakan hal yang sangat jauh dari pikiran mereka.

Bersambung Ke Bagian (16)

 

Comments
Add NewSearch
Write comment
Name:
Subject:
[b] [i] [u] [url] [quote] [code] [img] 
 
 
:angry::0:confused::cheer:B):evil::silly::dry::lol::kiss::D:pinch:
:(:shock::X:side::):P:unsure::woohoo::huh::whistle:;):s
:!::?::idea::arrow:
 
Security Image
Please input the anti-spam code that you can read in the image.
 
< Prev   Next >