Hamba Tuhan
Login





Lost Password?
No account yet? Register
Find Us on Facebook
Shalom, bagaimana kabar Anda hari ini? Silahkan login atau register.
Cadar Yang Terkoyak 18/21 PDF Print
User Rating: / 1
PoorBest 
Wednesday, 26 September 2007

LILIN YANG MENYALA
"Ya Bapa, kemana saya harus pergi ?"

Saya berdiri sendiri di jalan Samanabad sambil berusaha menahan air mata karena goncangan dan kepedihan pada peristiwa yang baru kualami, lalu memandang keatas kebawah mencari petunjuk tentang tindakan apa yang saya ambil berikutnya. Namun, sepanjang jalan besar itu sepi dari lalulintas dan keadaan deretan bungalow sepi di belakang dinding-dinding tinggi disinari cahaya matahari tipis dan tidak menunjukkan kehidupan mewah dibelakangnya. Rasanya, secara refleks saya berbalik kekanan lalu mulai berjalan menelusuri trotoar yang dilapisi semen menuju kearah penantian bis yang jauhnya hampir 2 km.

Waktu tiba disana, hatiku sudah bulat - John dan Bimla Emmanuel, seorang tukang kebun di kantor walikota, tinggal di Medina colony bersama istri dan 4 dari 5 anaknya. Keluarga ini menjadi jemaat dari Gereja di jalan Warris. Mereka pernah mengajakku ke rumahnya sekali atau dua kali dan saya merasa senang disana, berceritera pada mereka tentang Tuhan dan Kuasa menyembuhkan & menyelamatkannya.

Mereka pernah berkata padaku, "Datanglah ke rumah kami setiap waktu, rumah kami terbuka bagimu."

Ditempat perhentian bis ada beberapa jenis transportasi, saya menggunakan rickshaw (sejenis becak) ke Muzang Chungi dan dari sana dengan minibis yang trayeknya Gurumangat. Dari sini berjalan kaki sedikit melintas rel kereta saya tiba di Medina Colony. Saya memilih berjalan sepanjang lorong yang bekas dilewati roda, berabu, diantara rumah-rumah. Menghindari got-got terbuka yang mengalir kearah sebuah 'houdi' atau tempat penampung kotoran manusia di dekatnya. Di rumah John Emmanuel, saya memegang ujung 'kunda' yang tergantung diluar dan mengetukkannya ke pintu kayu berlapis ganda di dinding yang tinggi itu.

Tak lama kemudian Bimla membukanya, menatapku dengan heran lalu mempersilahkan saya masuk. Kuceriterakan sedikit padanya tentang apa yang sudah terjadi dan memohonkan bantuan untuk memondokkan sementara. Ia melihat saya sedang gemetar lalu memelukku, "Anda diterima dengan hati yang sangat terbuka untuk tinggal bersama kami dan apa pun yang kami miliki, anda pun dapat turut menikmatinya bersama-sama."

Ketika John Emmanuel pulang sore harinya dengan sepeda, ia mendengarkan ceriteraku dengan prihatin. "Jangan kuatir, saya adalah saudaramu dalam Kristus," katanya meyakinkan saya. Pikirku, betapa anehnya perasaan ini dapat kurasakan terhadap seseorang yang bukan anggota keluargaku dan kehangatan terasa mengalir mendengarkan ke prihatinannya. Ternyata, persekutuan orang-orang yang benar-benar percaya pada Kristus dapat mengikat pengikut-pengikutnya dengan ikatan yang lebih kuat dari ikatan darah atau hasil perkawinan.

Rumah yang mereka sewa itu kecil, terdiri atas sebuah kamar tidur dan serambi. Pada satu sisi serambi ini ada dapur dan disisi lainnya kamar kecil. Saya mengira-ngira dimana saya akan tidur, nyatanya bersama anak-anaknya, yang sulung 8 tahun, diserambi. Tempat ini ditutup dengan gordin sehingga berubah menjadi sebuah kamar dengan hawa yang lebih sejuk. John dan Bimla tidur di halaman dan hal ini biasa di lakukannya kalau rumahnya kecil dengan keluarga besar.

Tidak ada rumput atau bunga-bungaan - tidak ada tempat untuk menanam sesuatu apapun. Dasar halamannya tanah liat yang keras bercampur jerami, dibersihkan dengan baik sehingga merupakan bagian tambahan dari rumah itu. Tapi ada tanaman di dalam pot-pot untuk menyemarakkan tempat itu. Akomodasi yang sederhana dibanding dengan kesenangan yang saya tinggalkan tapi rasanya hatiku senang sekali memiliki perasaan bebas untuk mengambil Alkitabku dan membacanya secara terbuka serta mengadakan persekutuan doa dan mempelajari Alkitab bersama John & Bimla. Untuk dapat sampai ke tahap ini saya malah sudah menantang maut. Walaupun begitu, di malam pertama, sambil tidur diatas 'charpai' dibawah selimut pada udara terbuka, saya tidak dapat tidur karena belum terbiasa dengan keadaan sekelilingku sebab pikiran-pikiranku menerawang dan adanya bunyi-bunyi di malam hari yang menggangguku.

Di daerah itu orang-orang cepat tidur agar dapat segera bangun sebelum matahari terbit guna mempersiapkan perjalanan mereka ke kota untuk bekerja. Namun, sewaktu kesibukan sehari-hari dan bunyi-bunyian pompa air berhenti, keadaan menjadi sunyi senyap lalu diganti oleh bunyi lain yang menggelitik saya untuk mencari tahu sumber asalnya.

Terdengar bunyi berdenyit dan tikus-tikus berlarian di belakang rumah-rumah itu saluran gotnya buruk sehingga terjadi genangan-genangan air tempat kodok berkelompok bergembira ria bersahut-sahutan dengan ributnya dan jangkrik bernyanyi di semak-semak. Tidak ada kelambu untuk melindungi diriku dari dengungan nyamuk yang menari-nari dengan tebalnya di sekelilingku. Bunyi gemerisik kecil di atas atap jerami membuat saya berpikir-pikir apakah cecak atau kakarlak yang mungkin akan jatuh menimpa kepalaku. Saya merasa iri pada anak-anak yang tidur dengan eloknya. Suara napasnya yang lembut menjadi lebih keras dan makin saya campur adukan bunyi-bunyi ini, kedengarannya laksana deburan ombak dikejauhan.

Saya berusaha menutup telingaku rapat-rapat dan mengalihkan pandanganku ke langit cerah yang terlihat olehku dari bawah atap serambi. Saya mencoba agar dapat tidur dengan cara menghitung bintang yang berkedip-kedip namun malah hanya membuat saya lebih tidak bisa tidur lagi. Lalu bulan yang sendirian muncul ke panorama pemandanganku, memandikan sekitarnya dengan cahaya misterius yang begitu dicintai oleh para penyair dan orang-orang yang dilanda asmara. Lalu angin yang sombong laksana 'Nawab' yang merasa iri, dengan sombongnya mengumpulkan awan-awan yang tadinya masih tercerai berai menutup bulan itu dari pandangan mata yang masih merindukannnya.

Saya menikmati pemandangan bulan dan bintang-bintang yang menari-nari di angkasa melewati penggantian waktu dan merasakan goncangan dan kesedihan atas berlalunya hari yang menuju kesuatu titik tujuan yang lebih pasti.

Saat ini merupakan bagian dari waktu dimana saat-saat kehidupan campur-baur yang berlangsung selama kehidupan ini. Saya melihat diriku sendiri, Gulshan Ester, miskin dan dibenci oleh orang-orang yang seharusnya mencintaiku dan telah berpaling dari pintu rumah mereka, kini telah bebas dari beban-beban yang merintangi. Kerudung kehidupan agamawi yang saya warisi sebelum ini, yang kurasakan pernah memisahkan saya dari satu Allah yang tidak dapat diketahui oleh seorang pun telah dikoyakkan, diungkapkan dalam wujud Yesus Kristus, Tuhanku. Sekarang jalan pemuridan telah terbentang dan apakah menyenangkan atau menyakitkan, harus kujalani dalam ketaatanku. Tapi saya tidak sendirian. Ada satu yang menyertai saya, saya kuat dan akan memenuhi semua kebutuhanku.

Dengan rasa mengantuk saya menatap ke langit yang memudar warnanya menelan bintang-bintang dan menampilkan bintang pagi, kebanggaan fajar. Sambil memikirkan Yesus, Fajar Pagi Pengharapanku yang diutus Allah untuk menerangi hidupku, akhirnya saya tertidur pulas tanpa terganggu apa pun walau hanya untuk waktu yang pendek.

Saya terbangun, mataku berat tertimpa sinar pagi yang cerah, ketika si Gundu, bocah beruia 4 tahun menarik tanganku. Bahkan ketika saya berusaha untuk mencuci dengan air dari pompa di halaman, saya terkenang akan pikiran yang telah terbentuk semalam - saya perlu berpikir untuk mencari kerja sebab saya tidak dapat mengharapkan bahwa kawan-kawanku dapat bertahan untuk membiayai saya.

Kepala Sekolah wanita dari sekolah swasta untuk para gadis memandang saya dari atas ke bawah ketika saya berdiri di kantornya dengan perasaan bingung di hadapan wanita yang dingin tapi cekatan ini yang memiliki kharisma kewenangan. Namun saya pun berketetapan hati. Beliau membetulkan syalnya dan berkata dengan sopan, "Selamat pagi nyonya. Apakah saya dapat menolong anda? Apakah anak anda bersekolah di sini?"

"Tidak, saya tidak mempunyai anak yang bersekolah disini. Saya datang untuk mencari tahu apakah Ibu membutuhkan seorang guru di sekolah Ibu."

 

Ekspresinya berubah dari sikap sopan-santun karena ingin mencari tahu menjadi agak merendahkan diri. Terlihat olehku bahwa cara pendekatan langsung seperti ini dinilai kurang wajar. Sebenarnya saya harus menulis lamaran bukannya datang sebagaimana seorang pembantu atau tukang kebun mencari pekerjaan.

"Mata pelajaran apa saja yang dapat anda ajarkan dan kwalifikasi apa yang anda miliki?"

"Saya dapat mengajar bahasa Urdu, pengetahuan agama Islam, sejarah, ilmu bumi dan matematika sampai tingkat pra-universitas."

Beliau memandangku dengan tajam seakan-akan menyusun pendapatnya, "Seorang guru yang pandai untuk para gadis," katanya, "namun sayang sekali lowongan yang ada telah terisi dan saya tidak dapat menerima anda, tapi jika anda meninggalkan nama dan alamat pada sekretaris, saya akan menghubungi bila ada lowongan pekerjaan nanti."

Beliau bangkit dari belakang kursi yang berat kelihatannya untuk mengantar saya keluar, tapi saya masih saja berdiri, merasa sedih sekali.

"Apakah ibu mungkin tahu kalau ada anak gadis yang memerlukan guru pribadi di rumah karena sesuatu alasan, barangkali sakit, atau orangtuanya tidak mengijinkan anaknya ke sekolah?"

"Maaf, saya tidak tahu. Tapi jika saya tahu maka anda akan kuberitahu bila nama dan alamat anda ditinggalkan pada sekretaris."

Selama 2 atau 3 minggu saya telah bolak-balik kekota, melewati Red Fort untuk mencari kerja, menjajakan kwalifikasiku dari satu sekolah ke sekolah yang lain, seakan-akan seorang penjaja-keliling. Saya memperoleh alamat-alamat itu dari Kantor Penempatan Tenaga dan para petugas biasanya terkejut karena lamaranku. Saya merupakan teka-teki bagi mereka, seorang wanita muda dari keluarga baik-baik, tangannya terlihat kurang memenuhi syarat untuk bekerja, ternyata tidak ditunjang oleh keluarganya.

Berulang kali John dan Bimla meyakinkan saya tentang dukungan mereka tapi saya tahu bahwa saya merupakan beban untuk seorang yang mempunyai gaji kecil seperti dia. Jadi saya berdoa memohonkan lowongan pekerjaan dan saya menelusuri jalan-jalan dibawah terik matahari, sepatuku bolong dan bila timbul perasaan marah atau kecil hati maka saya teringat pada Yesus dan bagaimana ia menapak jalan-jalan itu untuk mati di atas kayu salib bagiku.

Ketika untuk keempat kalinya saya pergi ke Kantor Penempatan Tenaga, saya mendengar bahwa sebuah majalah mingguan yang berkantor di pasar Ol Anarkali membutuhkan seorang wartawati. Saya tahu nama Anarkali, bunga delima, sama dengan nama seorang pahlawan wanita yang terkenal dalam sejarah kami. Dia dipakukan secara tragis ke tembok hidup-hidup oleh seorang 'mghul' (kaisar) padahal ia tidak bersalah. Si wanita itu jatuh cita dengan saudara sedarahnya bernama Salim. "Seorang gadis malang dan sedang menghadapi bahaya," pikirku dan mencoba mengingat apakah terdapat gejala untuk menerima hukuman seperti wanita itu. Mungkin tidak karena ia adalah anak kaisar tersebut.

Majalah itu pernah kulihat, seingatku mempunyai 4 halaman, ada gambar-gambar berwarna dari orang-orang terkenal dan agak berbau politik. Keadaanku yang sulit, membuat saya kuat dan memohon untuk diwawancarai. Besoknya jam 10 pagi saya datang ke lantai satu di kantor majalah itu di Old Anarkali. Penerbitnya berperawakan tinggi, lelaki yang tampan berkulit terang memakai jas hitam yang tidak tebal dan sangat sopan.

"Silahkan duduk," katanya sambil menunjuk ke sebuah kursi yang terletak agak jauh dari mejanya yang mengkilap diatas permadani berbentuk segi empat. Ia membunyikan bel dan meminta minuman pada seorang pria muda yang datang membawakan coca-cola dingin bagiku. Minuman ini dihidangkan dalam sebuah botol di atas jerami. "Saya ingin tahu kenapa anda membutuhkan pekerjaan," katanya dan giginya yang putih kelihatan waktu tersenyum.

Saya menjawab, "Saya yatim piatu dan saya berpendidikan. Saya ingin mendapat gaji sendiri." Sebuah pena dengan ujung emas diatasnya dimain-mainkannya, dan tercium bau harum olehku mungkin dari parfum 'after shave' yang dipakainya.

"Tapi ceritakan padaku", katanya, "kenapa kakak-kakakmu tidak membantumu agar anda tidak perlu bekerja?"

"Oh mereka semua telah bekerja dan tinggal di rumahnya masing-masing dan saya tidak mau menjadi beban bagi mereka karena itulah saya memerlukan pekerjaan."

Ia juga ingin tahu kemana saya telah melamar dan kuceritakan padanya lamaran-lamaranku untuk mengajar yang menemui kegagalan. Cahaya yang menembus gorden bercorak kota-kotak tipis menimpa wajahku waktu kami berbicara dan saya melihat bahwa ia sedang melihat padaku dengan cermat. Lalu ia berketetapan hati tentang diriku, perasaanku cukup cepat.

"Anda dapat mulai besok. Datanglah antara jam 08.30 dan 09.00 pagi dan jangan kuatir saya akan memberikan padamu beberapa pertanyaan yang akan kau ajukan waktu melakukan wawancara. Anda harus bekerja keras dan berkunjung kerumah-rumah atau kadang-kadang ke sekolah-sekolah."

"Saya cukup berpengalaman mengunjungi rumah-rumah orang," pikirku, tapi tidak kuutarakan.

Ia menjelaskan bahwa gaji pokokku sebesar 100 rupee sebulan. Jumlah ini akan ditambahkan pendapatan yang diperoleh dari para wanita yang membayar untuk wawancara pribadi. Prinsipnya ialah jika mereka membayar maka mereka bebas mengutarakan apa yang akan dikatakannya. Saya mendapat 20% dari jumlah itu. Ini merupakan sistim yang lebih menguntungkan mereka dibanding dengan bagianku, tapi saya tidak punya kekuatan untuk tawar menawar.

"Anda bukan beragama Islam," katanya.

Lebih terdengar seperti pernyataan daripada pertanyaan. "Saya beragama Kristen," jawabku, lalu menunggu cukup lama rasanya dengan berdebar selama ia merenungkannya.

Akhirnya sambil memasukkan pena ke kantung jasnya ia bangkit dari kursinya dan berkata, "Baiklah, bukan masalah besar. Anda kelihatannya terpelajar seperti yang anda katakan dan tidak takut berhadapan dengan orang lain." Ia membawa saya ke kantor penerbit dimana diperkenalkannya saya dengan tiga wartawan, seorang juru potret dan seorang penata tulisan. Saya diberi meja sendiri. Ada sebuah ruangan ketiga, tempat kami makan siang - diberi cuma-cuma. Yang bertugas disini ialah seorang 'charpase' atau pesuruh yang mengerjakan beberapa pekerjaan kasar, mengirim/menerima surat-surat, tugas-tugas pesuruh lainnya, mengambil makanan siang dan menyiapkan minuman.

Besok pagi saya tiba untuk bekerja pada jam yang ditentukan dan menghadapi rekan-rekan sekerjaku. Saya satu-satunya wanita diantara 7 pria, tapi jika saya sudah takut lebih dahulu maka ketakutan itu tidak beralasan - mereka semua sangat menghormatiku dengan sebutan 'Ba-ji' (saudara perempuan). Dalam waktu 4 hari saya berusaha mempelajari segala sesuatu sedapat-dapatnya termasuk 10 pertanyaan yang disodorkan. Saya bertekad untuk sukses.

Saya segera mengetahui bahwa berita-berita digodok di ruang berita, diperiksa penerbit sebelum diserahkan kepada penata tulisan untuk mengatur cetakannya ke dalam bahasa Urdu di atas lembar-lembar kertas yang lebar. Lalu penerbit akan memeriksa hasil kerja tersebut guna meyakinkan bahwa tidak ada kesalahan sebelum masuk ke percetakan.

Salah satu tugasku ialah membantu bapak penerbit memeriksa hasil kerja si penata huruf sebelum dikirimkan ke percetakan. Kadang-kadang saya harus menemani si pesuruh ke kantor pos untuk membawa atau mengambil bungkusan-bungkusan. Apabila kiriman-kiriman majalah yang baru dicetak diterima maka saya bertugas melipat dan membubuhkan alamat-alamatnya. Saya menjadi terbiasa dengan label-label dan perekat serta merasa senang mempelajari tugas-tugasku yang baru ini sambil menunggu dengan perasaan was-was untuk melaksanakan wawancaraku yang pertama kali.

Jadwalnya ialah mewawancarai seorang istri bekas Menteri Luar Negeri yang telah berhenti dari tugas pemerintahan karena ada kesulitan pribadi dengan Perdana Menteri Bhutto. Hal ini berarti bahwa pertanyaan yang kuajukan haruslah sedemikian agar sedapat mungkin tidak mengganggu nyonya itu - namun si penerbit meyakinkan padaku bahwa nyonya itu mungkin malah akan merasa senang bila diajukan pertanyaan yang sulit. Seperti biasanya, beliau benar.

Bersambung Ke Bagian (19)

 

Comments
Add NewSearch
Write comment
Name:
Subject:
[b] [i] [u] [url] [quote] [code] [img] 
 
 
:angry::0:confused::cheer:B):evil::silly::dry::lol::kiss::D:pinch:
:(:shock::X:side::):P:unsure::woohoo::huh::whistle:;):s
:!::?::idea::arrow:
 
Security Image
Please input the anti-spam code that you can read in the image.
 
< Prev   Next >