Hamba Tuhan
Login





Lost Password?
No account yet? Register
Find Us on Facebook
Shalom, bagaimana kabar Anda hari ini? Silahkan login atau register.
Cadar Yang Terkoyak 19/21 PDF Print
User Rating: / 0
PoorBest 
Friday, 28 September 2007

Saya segera mengetahui bahwa berita-berita digodok di ruang berita, diperiksa penerbit sebelum diserahkan kepada penata tulisan untuk mengatur cetakannya ke dalam bahasa Urdu di atas lembar-lembar kertas yang lebar. Lalu penerbit akan memeriksa hasil kerja tersebut guna meyakinkan bahwa tidak ada kesalahan sebelum masuk ke percetakan.

Salah satu tugasku ialah membantu bapak penerbit memeriksa hasil kerja si penata huruf sebelum dikirimkan ke percetakan. Kadang-kadang saya harus menemani si pesuruh ke kantor pos untuk membawa atau mengambil bungkusan-bungkusan. Apabila kiriman-kiriman majalah yang baru dicetak diterima maka saya bertugas melipat dan membubuhkan alamat-alamatnya. Saya menjadi terbiasa dengan label-label dan perekat serta merasa senang mempelajari tugas-tugasku yang baru ini sambil menunggu dengan perasaan was-was untuk melaksanakan wawancaraku yang pertama kali.

Jadwalnya ialah mewawancarai seorang istri bekas Menteri Luar Negeri yang telah berhenti dari tugas pemerintahan karena ada kesulitan pribadi dengan Perdana Menteri Bhutto. Hal ini berarti bahwa pertanyaan yang kuajukan haruslah sedemikian agar sedapat mungkin tidak mengganggu nyonya itu - namun si penerbit meyakinkan padaku bahwa nyonya itu mungkin malah akan merasa senang bila diajukan pertanyaan yang sulit. Seperti biasanya, beliau benar.

Nyonya itu menerimaku dengan sangat ramah diruang duduk pribadinya dan mempersilahkanku duduk. Saya teringat akan pertemuanku dengan nyonya yang sopan dulu namun akhirnya menjebloskan saya ke penjara. Saya mengakui bahwa sekarang saya merasa puas dapat menjadi salah seorang anggota mass-media yang mempunyai kemampuan lebih besar dibandingkan dengan di waktu-waktu lampau.

Kini saya menjadi seorang penyelidik. Kuajukan 10 pertanyaanku satu demi satu. "Kenapa suami ibu berhenti? Apakah ibu senang atas keputusan yang diambil beliau? Dimana ibu mendapat pendidikan?" Dan seterusnya. Pertanyaan-pertanyaanku tidak terlalu tajam namun dengan mengajukannya kepada seorang wanita oleh wanita lain serta hasilnya akan dibaca oleh beribu-ribu wanita lain di seluruh negeri telah memberikan pertanda adanya perubahan-perubahan yang sedang terjadi dalam masyarakat pada waktu itu.

 

Altaf si juru potret menemani saya bersama yang lain pada wawancara itu. Jadi saya merasa yakin akan adanya perlindungan dan ia pun sangat gembira dapat bertemu dengan para wanita. Setengah dari masyarakatnya masih tersembunyi dari pandangan dan diperlakukan sebagai milik pribadi oleh separuh bagian lainnya.

Suatu pemikiran moderen yang merayap masuk perlu menjalani perjalanan panjang untuk mengimbangi tradisi yang masih memisahkan pria dan wanita dalam satu bentuk genggaman yang kuat, baik dikalangan orang kaya dan terpelajar demikian pula di kalangan miskin dan awam. Dalam hal-hal lain Astaf juga berfaedah. Sesekali nyonya itu memakai bahasa Inggris waktu menjelaskan tentang kehidupannya. Ini membuat saya kikuk sebab oleh larangan kuno ayahku maka saya tidak dapat berbicara dalam bahasa ini merupakan ciri-ciri dari tingkat masyarakat dan pendidikan yang telah diterima maka saya memerlukannya. Tapi dengan pelan kawanku menterjemahkannya bagiku. Ia juga memikirkan mengenai pertanyaan lain untuk diajukan, bila pikiranku masih menerawang. Ketika semua pertayaan selesai diajukan, nyonya itu bertanya tentang diriku, "Sampai dimana pendidikanmu?"

"Cukup untuk mewawancarai nyonya," jawabku.

Beliau tertawa, "Jarang kita dapat bertemu dengan seorang wanita yang benar-benar terpelajar," katanya.

Ketika diterbitkan ternyata tulisanku telah dikoreksi dengan baik oleh penerbit. Namaku ditulis Gulshan di bawah judulnya. Beliau tidak menambahkan namaku yang kedua "Esther". Nyonya itu membayar 700 rupee dan saya menerima 140 dari jumlah itu. Saya menyerahkan 100 kepada John Emmanuel dan menyimpan yang 40. Pada mulanya tuan dan nyonya rumahku tidak mau menerima uangku tapi saya memaksanya.

"Kami sangat berbahagia atas pertolongan Allah bagimu," kata mereka.

Ya, saya pun merasa bahagia juga. Untuk pertama kalinya dalam hidupku saya berhasil memperoleh gajiku sendiri dengan memanfaatkan pendidikan yang kuterima. Tanpa terasa, ingatan kemarahan dari wajah kakak-kakak lelakiku mulai menghilang ke latar belakang.

Pada kesempatan lain saya mewawancarai seorang Kepala Sekolah wanita SMA gadis-gadis di Lahore. Saya merasa gugup sebelum kesana karena takut membuat kekeliruan dengan pertanyaan-pertayaanku di depan wanita yang pandai, memiliki wibawa laksana sebuah 'burka' layaknya, namun si juru potret Altaf menguatkan hatiku, "Katakan padanya bahwa anda menginginkan beliau menjelaskan tentang segala sesuatu sehingga dapat dimengerti para pembaca. Lalu dengarlah baik-baik dan catat semuanya. Jangan takut mengajukan pertanyaan sederhana – kebanyakan pembaca anda tidak mau kalau anda bertindak terlalu pintar."

Nasihat ini baik sekali. Saya duduk di sana dengan penuh kesederhanaan dan mendengarkan kuliah Kepala Sekolah itu tentang perbedaan antara sekolah swasta dan sekolah pemerintah. Keuntungan menyolok yang kuperoleh dari cara padang Kepala sekolah itu kelihatannya ialah beliau merasa dapat bertindak lebih bebas-dibawah pemilik sebelumnya beliau terlalu didikte dalam banyak hal sehingga biaya pendidikan sangat meningkat. Satu aspek yang merugikan sekarang ialah fasilitas yang tersedia makin sedikit. Sebagai tambahan atas informasi ini saya menulis tentang ruangan itu, kondisi sekolah di mana kami diajak mengadakan peninjauan dan melihat pemunculan gadis-gadis yang bersekolah disana.

Si juru potret sangat menyenangi wawancara ini karena ia diminta memotret banyak obyek termasuk para gadis di sana. Mereka tampil dengan cantiknya dalam 'Shalwar kameeze' nya yang putih dengan 'dopatta'nya berwarna biru, inilah pakaian seragam mereka dan kupikir bahwa pengalaman ini sangat menarik karena gadis-gadis itu sering cekikikan sambil menutup mulutnya dengan 'dopatta'nya.

Penerbit mengomentari tulisanku dengan "lumayan". Beliau bukanlah orang yang mudah merasa puas. Tiga hari kemudian saya kembali kesana sesudah tulisanku dicetak untuk mengambil sisa pembayaran yang belum dilunaskan ke majalah kami - pewawancara selalu mendapatkan uang panjar sebelumnya.

Saya menemui kepala sekolah yang kini memandangku dengan rasa ingin tahu sebab rupanya ia dapat mengetahui sedikit tentang kisahku yang diceritakan oleh salah seorang stafnya yang beragama Kristen. "Kenapa anda pindah agama? Dapatkah saya membantu agar anda kembali ke iman Islam-mu?" kata kepala sekolah itu. Jadi di depan stafnya saya bercerita sedikit tentang hal ini.

"Anda bersikap hati-hati dan imanmu teguh" katanya. Kekuatiran-kekuatiranku mulai hilang sebab tidak ada kesulitan yang timbul terhadap apa yang kutulis. Lama kelamaan saya merasa bahwa pekerjaan menjadi lebih mudah dan mulai terbiasa melihat namaku dicetak menyertai tulisan-tulisanku. Suatu perasaan aneh timbul bila kupikirkan bahwa tulisanku dibaca di seluruh Pakistan dan mungkin memberikan aspirasi bagi para wanita muda sambil menunjukkan bahwa salah seorang kawan sejenisnya dapat berbuat sesuatu. Dan bagi saya yang menjadi contohnya, memiliki cara pemikiran dan ambisi yang menjurus ke arah yang berbeda sama sekali yaitu untuk melayani Tuhan dan melakukan kehendakNya.

Jadi, mengapa saya di sini, bekerja di majalah ini - suatu pengalaman yang lain sama sekali dari apa yang telah terjadi sebelumnya. Jalan pengabdian ibadahku telah membawaku ke sini, tetapi untuk alasan apa? Hal ini adalah suatu teka-teki silang dan biasanya saya tidak terpengaruh oleh teka-teki ini dan hidup seadanya dari hari ke hari menelusuri 2 bagian terpisah dari hidupku, yang di luar dan di dalam, kehidupan bekerja dan kehidupan berdoa.

Namun, rekan-rekanku wartawan lainnya menyadari bahwa saya berbeda dengan mereka. Setelah kira-kira 2 minggu mereka dapat mengetahui bahwa saya beragama Kristen, walau pun tidak diketahuinya bahwa sebelumnya saya memeluk agama Islam. Mereka menggodaku tentang kepercayaan ini - "Anda percaya pada tiga allah," katanya sambil tertawa.

Seharusnya saya mencoba menjelaskan bahwa tidaklah demikian, hanya ada satu Allah dengan tiga manifestasinya - Bapa, Yesus Kristus anak Allah dan bukan hanya seorang nabi saja serta Rohul Kudus yang diturunkan pada hari Pentakosta untuk memenuhi orang-orang percaya dengan kehidupan Kristus, mengajar dan menyucikan mereka. Tapi sejak kanak-kanak, mereka telah diajar dan ditanamkan untuk berpikir bahwa agama Kristen telah merendahkan kemurnian yang percaya bahwa Allah itu Tuhan Yang Maha Esa, jadi sekarang bagaimana saya dapat merubah jalan pikiran mereka ini?

Selama ini kuperhatikan bahwa tidak ada seorang pun di kantor itu yang melakukan sembahyang Azhar (siang hari) dan saya sangsikan sampai berapa dalam iman mereka terhadap kepercayaannya. Ruangan-ruangan kantor itu dibagi oleh papan-papan tripleks tebal dan si penerbit biasanya menghentikan godaan-godaan itu seraya masuk keruangan kami menyuruh kawan-kawanku diam dan berkata, "Jangan menggodanya. Ia hanya satu-satunya wanita dan anda tidak boleh berlaku kasar padanya."

Pada suatu hari saya sedang menuruni anak tangga, jam 4 sore dalam perjalanan pulang ketika pemilik toko permen di sebelah kantor kami, bapak Jusuf menyapaku. "Assalam alaikum (kiranya damai turun atasmu)," katanya. Saya berhenti dan menunggu sampai beliau dekat "wa laikum salaam (kiranya damai serupa juga turun atas anda)," sahutku.

Katanya, "Nyonya, saya telah memperhatikanmu lewat selama ini dan kupikir anda tentulah seorang terpelajar untuk dapat bekerja di majalah itu. Saya sedang mencari seorang guru bagi ketiga anakku dan saya berpikir apakah kiranya anda menaruh minat untuk mengajar hal ini dan membicarakan tentang biaya untuk memberi pelajaran-pelajaran itu."

Saya ragu-ragu. Gaji yang kuterima di majalah itu tidaklah besar, karena saya hanya bertugas sekali atau dua kali sebulan, tidak sama dengan rekan-rekanku pria yang berdinas luar setiap waktu malah sampai ke luar Lahore. Saya memasuki rumahnya bersamanya dan diperkenalkan dengan istri serta ketiga anaknya dan kami langsung dapat saling menyukai satu sama lain lalu menetapkan tentang urusan mengajar tersebut.

Saya akan mengajar bahasa Urdu, matematika, agama Islam, sejarah dan Ilmu Bumi kepada anak-anak itu diluar jam sekolahnya dua jam sehari dari jam 4 sampai 6 sore. Saya meminta upahnya 150 rupee per bulan dengan makan malam tiap hari. Saya tidak akan datang pada hari Minggu.

Pengaturan baru ini membawa akibat. Saya harus berpisah dengan kawan-kawanku yang baik hati di Medina Colony, sebab hari akan malam sebelum saya tiba dirumah dan bagi seorang wanita tidak aman berjalan sendirian di waktu malam hari. Ada banyak pencopet dan dan penculik dikota ini - kini saya menjadi cukup mengerti dengan sisi kehidupan jahat ini sejak pengalamanku di penjara tempo hari. Jadi saya tiggal bersama Bapak & Nyonya Neelam. Alamatnya : Jalan Warris, dekat gereja tak jauh dari Old Anarkali. Saya mengenal Bapak Neelam waktu bekerja di "Sunrise" ketika beliau menjadi guru musik di sana.

 

Sampai bulan Desember saya sudah menulis 8 atau 9 ceritera semuanya dari 'Gulshan' atau kadang-kadang pelapor wanita kami dan saya merasa bahwa si penerbit senang dengan hasil-kerjaku,. Pada minggu kedua bulan itu saya dipanggil ke kantornya. "Anda telah melaksanakan pekerjaan lebih baik dari yang kuduga," katanya. Saya ingin mempertahankan anda di sini, namun ada satu hal yang perlu dibereskan jika saya mengambil tindakan tersebut - anda harus kembali ke iman Islam-mu."

Saya duduk menjadi kaku seperti batu layaknya. Ia melanjutkan, "Sekarang ceritanya kuketahui kenapa anda beragama Kristen. Namun, dengar baik-baik, jika kakak-kakakmu tidak membantumu, saya akan membantumu - hanya lepaskan kekristenanmu. Tidak, dengarkan anda dapat tinggal di rumahku. Anda akan menjadi pimpinan para wartawan. Saya akan mencari wartawati lain dan pendapatan yang akan anda terima seluruhnya perbulan berjumlah 1000 rupee."

Karena desakan perasaan waktu menerima kenyataan ini saya bangkit setelah memahami tujuan pembicaraannya. Orang ini berhubungan dengan Alim Shah – mungkin mereka berkawan, pergi ke klub yang sama. Rupanya beliau telah lama tahu tentang diriku dan dengan sabar menunggu kesempatan baik ini. Hal ini merupakan ulangan cerita lama yang sama.

"Tunjukkan padanya betapa besar cinta-kasih satu sama lain di kalangan kita maka mungkin ia akan kembali lagi karena ia memerlukannya, daripada bekerja untuk dapat hidup dan tinggal menumpang dengan orang lain." Dan saya, karena merasa begitu senang dengan kemajuan-kemajuan penulisanku telah gagal memperhitungkan kenapa orang ini telah menerima seseorang seperti saya yang belum berpengalaman? Dan kapankah mereka dapat diyakinkan bahwa saya tidak mau kembali lagi? Saya mengeluh.

"Janganlah bapak berpikir bahwa saya tidak merasa berterima kasih atas tawaran bapak. Saya sangat ingin bila dapat terus bekerja di sini; namun saya harus mengutarakan bahwa saya tidak dapat melepaskan kekristenanku. Yesus adalah kehidupan bagiku. Apa yang saya dapatkan di dalam Dia, tidak dapat diberikan oleh agama lain."

Beberapa waktu kemudian, di hari yang sama, istrinya masuk menemui saya dalam perjalanannya ke toko di Old Anarkali - menurut hematku adalah merupakan usaha terakhir untuk merubah pikiranku. Beliau memanggil saya masuk kantor suaminya ketika bapak penerbit sedang sibuk membaca hasil cetakan di ruang wartawan.

"Anda cukup pandai" katanya. "Kenapa anda beragama Kristen"

Pengungkapan ini menyedihkan hatiku. Bagi yang berfaham fanatik dianggapnya yang beragama Islam itu bodoh karena mempercayai suatu dusta.

Saya memahami bahwa wanita ini tidak memiliki penghayatan dan pendalaman rohani dan saya merasa tidak perlu untuk mengungkit-ungkit mengenai hal ini lagi.
Dengan lembut saya menjawab, "Ibu tidak akan dapat mengerti terhadap tahapan yang telah saya capai sekarang. Allah begitu nyata bagi saya."

Beliau memandang dan wajahnya kelihatan tegang. Nyonya itu berlalu tanpa berkata sepatah kata lagi. Pada akhir jam kerja, bapak penerbit memberikan padaku sebuah amplop berisi uang sebesar 125 rupee di dalamnya.

"Maafkan saya" katanya. "Namun anda tidak dapat meneruskan bekerja di sini lagi. Istriku dan saya sendiri memohon maaf dan menyesal karena anda harus pergi. Kami akan tetap mengingat anda."

"Saya pun memohon maaf dan merasa sayang, namun Allah akan memberikan pekerjaan lain bagiku," kataku dengan tegap, namun dalam hatiku sebenarnya jauh dari berani.

Bapak penerbit itu kelihatan jelas bergumul dengan perasaan kemanusiaannya karena sewaktu saya berjalan menuju pintu beliau berkata, "Jika anda merasa melarat saya akan membantu, namun masalah iman ini tetap ada."

"Jangan kuatir", jawabku. "Allah akan menolongku. Sebelum saya mencari pertolongan pada manusia, terlebih dahulu saya akan mencari pertolongan pada Allah."

Dan saya meninggalan kantornya. Para wartawan yang lain tidak senang atas kepergianku. "Anda telah begitu lama bersama kami dan sekarang anda pergi hanya karena masalah agama yang sepele itu. Oke, Nabi Isa itu telah menyembuhkan engkau - kenapa anda tidak membayarkan sejumlah uang saja dan dengan begitu persoalannya beres ?"

"Dia jauh lebih berarti bagiku daripada sekedar hal yang demikian itu", jawabku dan saya berjabatan tangan dengan mereka. Kemudian saya pergi dan menuruni tangga dengan perasaan dingin. Kepalaku pusing disebabkan oleh guncangan pengusiran ini, tepat pada waktu saya baru mulai merasa aman dari serangan-serangan yang khusus seperti ini. Setibanya diluar saya bersandar ke dinding untuk menenangkan diriku.

Tentunya ada satu alasan mengapa saya mejalani semua pengalaman yang menggoncangkan ini. Di dalam hatiku saya berseru kepada Bapakku di Surga dan Dia langsung memberikan jawaban dengan kata-kata yang menghiburkan. "Makin bertambah harimu berlalu maka kekuatanmu pun makin bertumbuh. Bukankah Aku telah memberi perintah kepadamu?" Saya tidak menyadari bahwa di hadapanku telah terbentang Tanah Perjanjianku yang Istimewa dan bahwa saya sedang dipersiapkan untuk masuk kedalamnya.

 

BERSAKSI
"Ada seorang tamu untukmu di sini," kata nyonya Neelam di pagi hari tanggal 30 Desember dan saya melongok ke atas dari bacaanku melihat-lihat. Rupanya Bapak Gill, seorang tua-tua dari Gereja di FOREMAN CHRISTIAN COLLEGE yang membawakan sebuah undangan untukku. Beliau langsung mengutarakan maksudnya.

Bersambung Ke Bagian (20)

 

Comments
Add NewSearch
Write comment
Name:
Subject:
[b] [i] [u] [url] [quote] [code] [img] 
 
 
:angry::0:confused::cheer:B):evil::silly::dry::lol::kiss::D:pinch:
:(:shock::X:side::):P:unsure::woohoo::huh::whistle:;):s
:!::?::idea::arrow:
 
Security Image
Please input the anti-spam code that you can read in the image.
 
< Prev   Next >