Hamba Tuhan
Login





Lost Password?
No account yet? Register
Find Us on Facebook
Shalom, bagaimana kabar Anda hari ini? Silahkan login atau register.
Bunda Dalam Kenangan PDF Print
User Rating: / 0
PoorBest 
Tuesday, 09 October 2007

Lima puluh tahun adalah waktu yang sangat singkat untuk hidup dengan seseorang yang disayang, sebaliknya adalah waktu yang teramat lama untuk berkumpul dengan yang dibenci.

 

Masa kecilku terbilang cukup gembira. Sekali pun aku tak memiliki adik ataupun kakak, aku memiliki sepasang orang tua yang amat menyayangi diriku.

 

Orang bilang anak tunggal biasa tumbuh menjadi manja, tetapi aku merupakan kekecualian. Mama mempunyai prinsip yang akan terus kuingat: "jangan pernah memenuhi tuntutan berlebihan seorang anak pada saat diminta".

 

Perlakuan seperti inilah yang aku terima. Ketika kecil dulu, aku pernah minta dibelikan serupa mainan yang cukup mahal dan tidak dipenuhi. Lama setelah itu, setelah aku melupakan permintaan itu, di suatu hari Mama memberikan mainan yang menjadi mimpiku itu. Betapa aku gembira, tetapi tidak membuatku cengeng, sebaliknya mendidik sehingga aku cukup dapat menerima apa pun yang menjadi keputusan orang tuaku.

 

Ketika duduk di bangku sekolah dasar, setiap hari terjadi rutinitas yang sangat spesial hanya bagi aku seorang dari sekian ratus siswa di sekolahku. Setiap hari kerja tanpa pernah absen menjelang jam istirahat, dibingkai jendela ruang kelasku, tampaklah segelas air susu. Kawanku kadang berbisik:

 

"Jim, tuh indung maneh geus datang (Jim, itu ibumu telah datang)".

 

Betapa masih terasa sampai sekarang kehangatan harapan Mama agar aku tumbuh sehat dan cerdas. Aku ingat prinsip pendidikan yang Mama tanamkan pada diriku:

 

"ngegedein anak bukan cuma pake nasi (membesarkan anak bukan hanya dengan memberinya makan - tetapi juga dengan pendidikan-penulis)".

 

Badai pertama yang menghantam kehidupanku adalah kepergian Papa yang terjadi hanya dua bulan setelah kerusuhan Mei 1963. Serta merta sumber keuangan kami hilang. Sampai saat itu kami tinggal di sebagian kecil rumah yang mengakomodasi kantor perusahaan angkutan swasta tempat Papa bekerja semasa hidupnya.

 

Kantor yang beroperasinya mulai dari jam 07:00 hingga hampir tengah malam itu hanya berbatas dinding gedek dengan bagian rumah yang kami huni, sehingga percakapan kami dapat terdengar jelas oleh orang-orang di kantor, dan sebaliknya.

 

Beberapa kali mantan atasan Papa memanggil-manggil Mama ketika kantor telah senyap, tanpa diketahui maksudnya. Mama terbangun dari tidurnya tetapi selalu berpura-pura terlelap.

 

Untunglah kejadian ini tidak berlanjut sampai tingkat pelecehan karena keteguhan hati Mama.

 

Tidak lama kemudian kami pun diusir dari tempat tinggal kami. Memang sebagai pegawai swasta ketika itu Papa tidak mempunyai asuransi tenaga kerja maupun tabungan pensiun. Sehingga jasa Papa di perusahaan itu pun tidak masuk perhitungan lagi.

 

Ketika itulah aku menyaksikan sendiri perjuangan seorang Bunda yang hanya mengenyam pendidikan formal di tingkat HCS tidak tamat (sekolah dasar zaman penjajahan Belanda untuk golongan Tionghoa) untuk mendapat perlakuan yang lebih baik dari mantan atasan suaminya, demi anak tunggalnya: aku.

 

Dengan bantuan dari beberapa pihak yang bersimpati termasuk Kepala Sekolah Dasar tempat aku menempuh pendidikan, Kepala Desa, dan seorang pejabat kabupaten, akhirnya Mama mendapat rumah pengganti yang sederhana.

 

Kami menghuni rumah itu berdua saja. Air minum harus diangkut pakai ember dari sumber PAM yang terletak hampir seratus meter di halaman tetangga. Mamalah yang mengangkut air itu setiap pagi segera setelah bangun tidur bergiliran dengan aku yang baru berumur 12 tahun ketika itu.

 

Untuk menyambung kehidupan, Mama bekerja keras dengan cara menerima pekerjaan jahitan baju wanita dan anak-anak, serta berjualan baju jadi dari pintu ke pintu, dengan berjalan kaki tentunya. Panas kepanasan, hujan kehujanan, karena Mama tidak memiliki payung.

 

Hinaan dan ejekan sering diterima Mama sebagai seorang janda yang banyak berhubungan dengan masyarakat luas. Tetapi mereka sekaligus tidak malu-malu berhutang belanjaan dan kadang-kadang sulit membayar. Pernah terjadi toko pakaian jadi yang memberi order jahitan tidak mau menerima hasil jahitan Mama karena ada noda kecil minyak mesin jahit "Singer" yang digunakan, akhirnya Mama diminta mengganti harga pakaian tersebut dengan cara mencicil.

 

Karena himpitan hidup, Mama tidak segan mengajukan permohonan pengurangan biaya pendidikan kepada kepala sekolah. Kepala SMP ketika itu mengatakan bahwa permohonan sejenis sudah beberapa kali diterima tetapi baru kali itulah dikabulkan: kepada Mama seorang!

 

Ini semua dilakukan Mama karena sekali pun miskin ingin anaknya berpendidikan. Pakaianku termasuk baju seragam sekolah dan sepatu yang aku kenakan terbilang sangat sederhana, baju-baju semua Mama yang jahit. Sampai waktu-waktu terakhir hidupnya, Mamalah yang selalu memvermaak baju apabila ada yang kurang pas atau jahitannya terlepas atau ruitsluitingnya rusak. Buku-buku sekolah ada yang meminjamkan.

 

Itu semua karena upaya Mama meminta bantuan kepadaanak-anak tetangga yang telah tidak menggunakan buku-buku sekolah tersebut. Terbakar emosi melihat kawan-kawan lain banyak yang melanjutkan pendidikan menengah atas di kota besar, aku pun minta izin Mama untuk melanjutkan studi SLTA di Bandung.

 

Dengan berat Mama mengizinkan. Tetapi hal itu hanya berlangsung setahun saja, aku dipanggil pulang untuk melanjutkan sekolah di kota kecil tempat aku bersekolah di SMP dulu karena alasan keuangan.

 

Aku tertekan karena tidak bersedia kehilangan teman baru, tegasnya tidak mau kehilangan gengsi bersekolah di kota besar. Betapa aku tidak menyadari kekeliruan besar yang sedang aku perbuat, bukankah Mama harus membanting tulang berlipat ganda bila aku tetap berada di Bandung?

 

Begitulah aku kembali ke kota kecil yang dulu. Sedikit kebahagiaan mulai tumbuh. Di SMA kelas 3 aku mendapat beasiswa penuh karena prestasi, aku bangga sekaligus bahagia dapat sedikit meringankan beban Mama.

 

Sebagai anak muda yang penuh semangat, sekali lagi aku terbakar emosi ketika kawan-kawan lain mau melanjutkan ke pendidikan tinggi. Tetapi aku tahu keterbatasan Mama. Betul saja, Mama menyarankan aku mencari kerja. Aku ditawarkan untuk bekerja di sebuah toko obat tidak jauh dari rumahku, alternatif lain mambantu Toa-pe (kakak laki-laki Papa) dalam mengembangkan usahanya.

 

Aku sungguh malu bila hanya menjadi pelayan toko, tetapi situasi telah mendesak. Sekali lagi keberuntungan berpihak padaku. Cici-cin-tong (anak perempuan Toa-pe) mendaftarkan aku pada suatu program bimbingan testing ITB dengan pesan aku hanya boleh mendaftar di jurusan yang memberi beasiswa penuh (ketika itu hanya ada pilihan matematika, fisika, kimia, dan astronomi).

 

Kemudian datang Koko-piao (anak laki-laki dari kakak laki-laki Mama) menawarkan pendanaan kuliah boleh mengambil jurusan apa saja dengan syarat aku harus menepuh dalam waktu minimum (ketika itu S1 10 semester).

 

Enso-piao (istri Koko-piao) maupun sebagian keluarga saudara-saudara kandung Koko-piao menentang upaya Koko-piao sekaligus mengirim hinaan dan ejekan yang dialamatkan kepada Mama sebagai seorang miskin yang tidak tahu malu.

 

Betapa senangnya aku ketika kemudian dinyatakan diterima di ITB, tetapi baru sekarang aku sadari bahwa kebahagiaanku itu sebenarnya berada di atas penderitaan Mama yang harus menebalkan kulit muka menghadapi kegetiran dari saudara ipar dan sebagian anak-anaknya. Sungguh hebat Mama dapat menahan diri begitu rupa demi aku, anaknya. Seandainya Mama termakan emosi dan mengadakan perlawanan, ada kemungkinan danaku dihentikan oleh Koko-piao (siapa juga yang tahan ibunya dilawan? oleh penerima dana lagi..).

 

Perjuangan hidup Mama menutup telinga ternyata masih harus berlanjut. Aku kost berpindah-pindah karena berbagai alasan. Karena ingin sebanyak mungkin mendampingi putranya, Mama sering kali harus berurusan dengan tante kost.

 

Sekali pun tanpa diminta, Mama suka membantu memasak makanan buat orang-orang serumah bahkan terkadang bahan makanan dan bahan bakarnya dibeli sendiri dari uang Mama yang tidak seberapa itu, tapi itu semua tiada berharga di mata tante kost maupun anak-anak kost lain. Semua itu ditempuh karena Mama ingin memberikan yang terbaik bagi putranya.

 

Kebahagiaan hidup mulai mampir pada diri Mama setelah aku lulus, kemudian memperoleh penghasilan, menikahi seorang gadis, dan mempunyai dua orang anak, seorang putri dan adiknya seorang putra yang terpaut delapan tahun.

 

Kalung medali S1-ku pun kuberikan untuk disimpan oleh Mama. Aku membawa Mama berekreasi secara cukup teratur. Aku menghadiahi Mama sebuah paying Eropa, berbagai parfum yang sangat disukainya, sejumlah tas tangan, dompet, gaun, dan aksesori sepulang lawatan dari luar negeri. Atas saran seorang rekan, kami berlima sempat membuat foto keluarga dengan tampilan formal sekitar lima tahun yang lalu. Ternyata itu adalah foto keluarga terakhir bersama Mama.

 

Dalam banyak hal aku belajar dari Mama. Belajar bertoleransi di tengah kemajemukan bangsa Indonesia adalah salah satunya yang berkesan sangat mendalam. Aku ingat ketika suatu malam Mama berkata: "Jim, kita sebagai golongan Tionghoa harus pandai menempatkan diri, biarlah setiap pihak menjalankan sesuatunya berdasarkan keyakinannya masing-masing, toh kita tidak terganggu karena hal itu?".

 

Mama sungguh toleran, sekali pun dilahirkan di zaman penjajahan Belanda yang katanya memecah belah bangsa, mengalami berbagai penindasan sosial-kultural sampai salah satunya yang diduga merenggut nyawa Papa, Mama tetap mengedepankan toleransi hidup pluralistik.

 

Keluarga kami sangat harmonis, pergi rekreasi atau sekedar belanja di mal selalu dilakukan bersama, Mama, aku, istriku, dan kedua anakku. Dalam beberapa kesempatan istriku berkata: "Jim, inilah masa-masa yang paling bahagia dalam hidup kita, Mama masih ada, dan anak-anak pun masih mau berjalan bersama kita". Istriku benar.

 

Tanggal 02 Agustus 2003 kami berlima dan Koko-piao (yang juga sudah mulai tua dan sekarang menetap di Bali) mengadakan acara makan siang bersama di Hartz Chicken untuk merayakan keberhasilan putra-putri kami. Putri kami mendapat beasiswa semesteran, sedangkan putra kami memenangkan lomba matematika se Tangerang sebagai juara kedua. Ternyata itu menjadi kebahagiaan keluarga bersama Mama untuk yang terakhir kalinya.

 

Tanpa terasa Mama mulai uzur dan sakit-sakitan. Menurut dokter, Mama menderita penyakit jantung. Penyakit ini tidak dapat disembuhkan, tetapi dapat dicegah agar tidak semakin parah. Sejak sekitar lima tahun yang lalu, secara rutin aku mengantar Mama check-up dua atau tiga bulan sekali dan memberinya obat tiap hari.

 

Agar tidak lupa, obat yang harus diminum aku bagi ke dalam tiga kantung plastik kedap udara masing-masing untuk diminum pagi, siang, dan malam, dan dilekatkan di pintu kulkas. Bila aku sedang tugas ke luar kota, aku susun sendiri obat-obat itu berdasarkan urutan tanggal dan waktunya sekaligus untuk jangka waktu selama aku tidak di rumah.

 

Bila waktu mendesak, aku minta anak-anakku yang memberi obat secara teratur. Si Kecil anakku yang kedua juga sudah mulai besar dan diproyeksikan mempunyai kamar tidur sendiri. Tetapi karena kurang cukupnya jumlah kamar, aku membuat mezanin di ruang keluarga yang kebetulan plafondnya cukup tinggi. Namun akhirnya ruang tersebut aku gunakan sebagai ruang kerja, karena Si Kecil lebih memilih tidur bertiga bersama kami.

 

Sementara itu Boktje (demikian enam bulan terakhir aku panggil Mama untuk sekedar lelucon, diambil dari kata "mbok" == ibu dan akhiran "tje" == suku kata tambahan pada akhir nama seseorang sebagai panggilan sayang) berada dalam keadaan stabil. Boktje tetap bisa melakukan aktivitas sehari-hari hampir tanpa gangguan berarti, memvermaak baju orang serumah dan mencuci piring masih dilakukan. Membuat baju kadang-kadang juga dilakukan kalau benar-benar sedang fit. Membaca koran, membuat kopi-coklat kesukaannya, semua dilakukannya sendiri. Pergi rekreasi atau sekedar jalan ke mal pun siap.

 

Setiap pagi ikut aku mengantarkan putriku ke luar kompleks perumahan sampai terminal bayangan angkot untuk kuliah. Apabila aku perlu menjemput putriku, atau sekedar ke rumah tetangga untuk urusan singkat, Boktje pun ikut tetapi hanya duduk di dalam kendaraan saja.

 

Dua minggu menjelang akhir hayatnya, Mama terserang diare. Dokter memberinya obat, diarenya sembuh tetapi nafsu makannya serta merta hilang. Perutnya bergemuruh, kami menduga karena kekurangan zat makanan. Berbagai obat diberikan, tetapi kebanyakan ditolak karena merasa belum makan nasi.

 

Makan nasi (bubur, sup, atau kentang atau apa pun) kebanyakan juga ditolak karena merasa tidak berselera dan tidak enak badan. Mama mengeluh kadang mengerang menahan sakit seakan ususnya terpuntir dan terbakar di dalam. Jadi kami pun bingung mana yang harus didahulukan obat atau makanan.

 

Aku mendapat permintaan untuk mejadi juri pada suatu perlombaan tingkat regional ASEAN di Singapura. Sungguh aku tidak tahu harus berbuat apa. Menolak tidak mungkin, karena juri harus mereka yang berprofesi di bidang tertentu dan berasal dari lembaga tertentu, sehingga kalau aku tidak datang, maka hanya Indonesialah satu-satunya negara yang tidak mengirim juri padahal semua negara lain mengirimnya. Menerima pun tidak benar melihat keadaan Mama yang sedang tidak berdaya.

 

Namun Mama rupanya mempunyai prinsip kerja:

 

Mengedepankan tugas daripada kepentingan pribadi. Dengan tegas Mama

 

mengatakan: "Jimmy pegi aja ke Singapur, Mama ga apa-apa ko. Mama pasti bakal tungguin Jimmy, Mama pasti ga bakalan mati", begitu cara Boktje memantapkan langkah anaknya ke Singapura.

 

Kamis 4 September 2003 aku terbang ke Singapura. Selama tiga hari di sana, ada beberapa sms yang aku terima dari rumah. Syukurlah semua berita menginformasikan keadaan Mama yang cukup lumayan. Sekembali dari Singapura 6 September 2003 jam 21:30, aku langsung ke kamar Mama tapi beliau sedang tertidur.

 

Seketika bangun, Mama langsung berkata: "Nah kan betul, Mama masih idup? Sekarang enak, semua udah pada kumpul lagi". Malam itu Mama tidak terlihat sehat karena terus berbaring, jalan ke wc pun harus didorong pakai kursi sekretaris yang beroda. Berdiri dari closet harus dibantu. Badan Mama sudah sangat lemah.

 

Minggu 7 September 2003, aku menceriterakan tentang pengalamanku di Singapura. Mama mendengar dengan penuh perhatian sekali pun rasa sakitnya tidak terperi. Tapi ada satu prinsip lagi dari Mama yang aku pelajari, yakni empati. Mama berkata: "Ya syukur kalau Jimmy dapet kesenangan di Singapur. Kesian Tjantjan (istriku-penulis) ga pernah dapet kesempetan buat bepergian. Semogalah di hari-hari ke depan, Tjantjan juga bisa dapet kesempetan". Siang harinya, istriku membeli es putar dari pedagang keliling.

 

Mama ingin mencicipinya, tapi kularang dengan mengatakan bahwa itu tidak baik buat kesehatannya. Istriku berbisik dengan mengatakan bahwa pada saat ini barangkali kita sudah harus memberikan apa pun yang diinginkannya, melihat kondisi Mama yang sudah semakin melemah. Aku setuju. Mama minta disuapkan es putar beberapa sendok.

 

Malamnya aku tidur di kamar Mama. Mama menolak dengan mengatakan bahwa aku akan banyak terganggu dengan erangannya. Aku jawab bahwa aku senang dapat merawat Mama. Beliau tersenyum.

 

Betul saja, malam itu hampir tiap setengah jam aku dibangunkan untuk menggeser kakinya, untuk memposisikan tubuhnya agar dapat duduk, merebahkannya kembali, menyalakan dan mematikan AC dalam waktu kurang dari lima menit, mengenakannya kaus kaki, mengenakan obat gosok pada perutnya yang pernah mengandung diriku, memoles minyak kayu putih pada lengan dan kakinya agar tidak digigit nyamuk, menggaruk kepalanya yang gatal, tidak lupa aku membelai rambutnya yang sudah memutih dan mencium dahinya dengan sayang.

 

Keesokan harinya aku merasa pusing karena kurang tidur, tetapi sangat bahagia karena telah merawat Mama satu malam. Senin 8 September 2003, aku berupaya mencari dokter yang dapat menyembuhkan Mama. Aku mendapatkan dokter yang sekaligus ahli dalam pengobatan alternatif. Ia meminta foto USG untuk memastikan prioritas tindakan. Sekembali dari dokter, kudapati Mama hanya ditemani pembantu kami.

 

Orang serumah telah pergi dengan aktivitasnya sendiri-sendiri. Di sisi tempat tidur kuperhatikan ada secangkir wedang jahe bikinan istriku karena diminta Mama. Kurawat Mama sebisanya. Di tengah sakitnya Mama berkata: "Kepengen minum Fanta, ga boleh ya?".

 

Teringat pelajaran yang baru saja aku terima dari istriku kemarin, maka aku segera menjawab "boleh, tapi sedikit aja dulu ya?".

Ternyata Mama cuma memerlukan waktu kurang dari dua menit untuk menghabiskan sepertiga gelas kecil Fanta. "Mana sisa Fanta Mama?" tanyanya.

 

"Kan udah abis" jawabku, pertanyaan ini diulang dua kali lagi. Akhirnya kuputuskan untuk memberinya lagi setengah gelas kecil. Itu pun segera habis dihirup Mama.

 

Jam 14:15 istriku, putraku, dan aku membujuk Mama ke sebuah rumah sakit terbaik dan terdekat. "Mama mau dibawa ke mana? Mama udah cape nih, ko belon sampe-sampe juga?". Hatiku miris mendengarnya. Ketika di-USG Mama sudah mulai turun kesadarannya, bicaranya sudah mulai tidak jelas. Dokter USG minta agar Mama segera dibawa ke UGD. Dari sana terus dilarikan ke Cath Lab.

 

Dua jam Mama tergolek di sana tanpa tanda siuman. Akhirnya dokter di Cath Lab pun menyerah pada realita, Mama tidak dapat disembuhkan. Mama hanya dibawa ke ICCU untuk menunggu saatnya. Tepat jam 20:20 Mama pergi...

 

Malam itu aku diminta menyisipkan sebutir mutiara ke bibir Mama sebagai lambang kebaikan. Kupegang mutiara itu, dengan perlahan kusentuh bibirnya yang mulai terasa dingin. Mutiara itu pun agak sulit disipkan karena bibir Mama mulai mengatup rapat.., bibir yang dulu pernah banyak memberi nasihat tentang kehidupan bagi diriku yang sampai kini masih kupegang teguh.

 

Kuperhatikan tangannya yang dulu memelihara, dan membesarkan aku dengan kasih sayang, juga merawat kala aku sedang sakit, dan tidak lupa berdoa untuk kesehatan dan keselamatan aku. Kini tangan itu telah berubah menjadi kaku dan dingin.

 

Kusempatkan mencium dahinya, juga sudah mulai dingin. Selasa 9 September 2003, segenap famili, kerabat, rekan kerja, teman, dan tetangga berkumpul secara bersama maupun bergiliran di ruang duka rumah sakit. Aku masih sempat melihat wajah Mama yang tampak "segar".

 

Istriku menyatakan kekagumannya dengan mengatakan bahwa Mama terlihat cantik. Persembahan buah, bunga, kue basah, nasi dan lauk vegetarian memenuhi meja penghormatan bagi Mama. Namun sesuatu terbersit dalam hatiku: tidakkah lauk-pauk itu terlalu asin seperti yang biasa dikeluhkan Mama ketika kami makan di luar dulu?

 

Aku masih menyempatkan untuk mengelus rambutnya terakhir kali. Jam 16:00 Romo Pandita memimpin paritta (doa), dan peti jenazah pun ditutup. Tidak ada lagi kesempatan bagiku dalam sisa hidupku untuk melihat wajah Mama sekali pun hanya sesaat. Tamu-tamu masih berdatangan, sampai jam 01:30 lewat tengah malam.

 

Rabu 10 September 2003, tepat jam 10:00 peti jenazah dibawa ke krematorium Dadap. Dengan dikawal oleh tiga orang voorijder perjalanan yang biasanya macet luar biasa, terasa cukup bahkan sangat lancar. Setelah upacara pelepasan jenazah yang dipimpin oleh Romo Pandita, peti pun didorong ke dalam krematorium, disaksikan oleh seluruh famili, rekan, dan teman.

 

Kamis 11 September 2003, kami sekeluarga mengadakan upacara pelarungan abu jenazah, mengumpulkan abu jenazah, dan menyempurnakannya di Laut Jawa. Hanya itulah yang dapat aku persembahkan bagi Mama: suatu rangkaian acara penghormatan terakhir yang lumayan pantaslah, tidak mewah, juga tidak asal-asalan. Semoga Mama menerima persembahan penghormatan ini.

 

Sungguh kejadian ini terasa luar biasa cepat tetapi juga tepat waktu. Seandainya Mama pergi lebih awal mungkin aku masih di Singapura, seandainya Mama pergi seminggu kemudian putriku sedang menghadapi ujian tengah semester.

 

Ada satu prinsip lagi yang rupanya ditinggalkan Mama secara tak langsung: lakukanlah sesuatunya dengan tepat waktu. Mama pergi pada masa putraku harus memiliki kamar tidur sendiri bukan di kamar orang tuanya.

 

Mama pergi agar istriku mempunyai kesempatan ke luar negeri, tidak ada seseorang yang harus terus-menerus dirawat.

 

Acara pelarungan abu jenazah pun tepat waktu berdasarkan dua hal. Pertama, pada jam yang sama sehari sebelumnya, pelarungan tidak dapat dilakukan karena air sedang surut sehingga perahu motor tidak dapat berlayar. Kedua, jika umumnya abu menunggu perahu, dalam hal Mama: perahu menunggu abu. Bukankah ini suatu ketepatan yang istimewa?

 

Kini di rumah, di jalan, di lokasi-lokasi tertentu tinggal tersisa kenangan manis Mama. Kantung plastik obat masih melekat di kulkas, dus obat dan wadah perlengkapan tetek-bengek masih menggeletak di sudut ruang keluarga, baju hasil setrika terjajar rapi di rak, baju yang dikenakan terakhir aku lipat rapi tanpa dicuci dan disimpan dalam sebuah kantung plastik besar, rencananya untuk kangen-kangenan.

 

Sisa wedang jahe, air minum, dan gelas kecil kosong bekas Fanta masih terletak di kamar tidur Mama. Celana pendekku yang sedianya akan divermaak, masih menggeletak di meja kamar tidur Mama, rupanya belum sempat dikerjakan. Di mobil tersisa tempat bekas Mama duduk dalam perjalanan terakhir kalinya ke rumah sakit. Di Makro ada trolley tempat Mama biasa duduk ditarik oleh istriku atau aku, BSD Plaza dan Mal LIPPO Karawaci adalah salah satu tempat yang paling sering dikunjungi, Giant adalah tempat favorit Mama belanja, Balada Kera dan Istana Boneka adalah tempat yang selalu dikunjungi bila kami pergi ke TIJA. Skylift selalu menjadi tujuan bila kami ke TMII. Beberapa kali kami pun menikmati kebersamaan di Taman Safari.

 

Namun Mama punya dua permintaan yang belum aku penuhi.

 

Pertama adalah keinginannya untuk mengunjungi Bonbin, dan kedua adalah keinginannya untuk mendengarkan lagu-lagu Koes Plus dan Jim Reeves.

 

Aku menyesal karena tidak segera memenuhi permintaan sesederhana itu untuk menyenangkan Mama. Kami selalu mengadakan acara khusus pada hari-hari ulang tahun anggota keluarga (bahkan Mama beberapa kali membeli sendiri kue ulang tahun keluarga, dua bon pembelian kue aku temukan di kamar Mama), hari Tahun Baru Imlek, hari Raya Waiçak, dan hari pernikahan kami (yang sengaja dibuat sama dengan hari pernikahan Mama-Papa). Tanggal 14 September 2003 adalah hari pernikahan kami pertama tanpa Mama.

 

Kini tidak ada lagi bunyi gordijn yang disingkap dan derit pintu kamar ketika Mama bangun tidur pagi hari saat aku sedang sarapan.

Tidak ada lagi Mama yang ikut di mobil sambil mengantar putriku ke depan mencari angkot, atau sekedar bertamu ke rumah tetangga.

Tidak ada lagi obat yang harus aku siapkan untuk pagi, siang, dan malam. Tidak ada lagi Mama yang harus aku pamiti setiap pergi ke kantor, dan kusalami setiap pulang kerja. Tidak ada lagi Mama yang harus kuajak makan. Tidak ada lagi Mama yang sedang menonton sinetron ketika aku sedang bekerja di ruang atas. Tidak ada lagi kebersamaan berlima dengan Mama ketika berekreasi, merayakan hari-hari istimewa keluarga, atau sekedar belanja di mal.

 

Demikianlah yang dapat kusampaikan dalam renungan ini. Semoga Mama tiba di suatu kehidupan lain yang lebih membahagiakan dibandingkan dengan kehidupan yang baru saja Mama akhiri.

 

Yang perlu Mama ketahui, Jimmy sebagai anak Mama selalu menyayangi Mama, selamanya. Sampai kita suatu saat nanti dipertemukan pada waktunya.

 

Comments
Add NewSearch
Write comment
Name:
Subject:
[b] [i] [u] [url] [quote] [code] [img] 
 
 
:angry::0:confused::cheer:B):evil::silly::dry::lol::kiss::D:pinch:
:(:shock::X:side::):P:unsure::woohoo::huh::whistle:;):s
:!::?::idea::arrow:
 
Security Image
Please input the anti-spam code that you can read in the image.
 
< Prev   Next >