Hamba Tuhan
Login





Lost Password?
No account yet? Register
Find Us on Facebook
Shalom, bagaimana kabar Anda hari ini? Silahkan login atau register.
Natal 25 Desember Mengapa Harus Dipersoalkan? PDF Print
User Rating: / 3
PoorBest 
Tuesday, 13 November 2007

Minoritas kecil gereja di Indonesia ada yang mempersoalkan ketepatan 25 Desember sebagai hari kelahiran Yesus. Gerakan semacam itu hanya membuang-buang energi dan kontra produktif dengan tantangan besar yang harus dihadapi gereja ke depan. Gerakan semacam ini malahan hanya akan memecah belah gereja, seperti juga gerakan anti ‘istilah Allah’ yang marak di kalangan kaum awam beberapa waktu lalu.

 

Demikian menurut Bambang Noersena, SH, MA. Ia menyatakan gerakan-gerakan semacam ini biasanya muncul dari kaum fundamentalis kristen yang memang subur di Amerika, yang membaca Alkitab secara harfiah dan karena itu meremehkan konstekstalisasi.

 

Karena itu, gerakan model-model begini tidak perlu serius ditanggapi. Kalau kita menanggapi mereka, justru akan jadi ‘kampanye gratis’ menyebarkan gagasan-gagasan mereka, yang biasanya anti konstekstualisasi, bahkan acap kali bersifat ahistoris. Tulisan ini hanya akan mengangkat tema kontekstualisasi, khususnya berkaitan dengan perayaan Natal.

 

Bukan Penetapan Natal Pertama

Menurut banyak data dari gereja Barat yang keliru mencatat, bahwa Konstantinus yang pertama merayakan Natal. “Kelahiran Yesus tidak pernah dirayakan sampai tahun 336’, kata mereka.

 

Itupun harus dikait-kaitkan dengan kelahiran ‘Dewa Matahari yang tak terkalahkan’ (Natalis Solis Invicti). Data gereja Barat ini harus di koreksi, karena memang Gereja Katolik Roma bukanlah yang pertama menetapkan perayaan Natal.

 

Gereja Katolik hanya meneruskan perayaan itu dari Gereja Timur, khususnya Gereja Ortodoks Koptik.

 

Dokumen gereja pertama kali yang mencatat penetapan tanggal kelahiran ‘Isa Almasih adalah The Coptic Disdacalia Apostolorum’ (Arab: al-Dustur ar-Rasuliyah) yang berbunyi: ‘Saudara-saudara, peliharalah perayaan untuk kelahiranNya (Natal) pada tanggal 25 bulan ke-9 Ibrani, yaitu tanggal 29 bulan ke-4 Mesir’.

 

Perlu di catat pula, bahwa penetapan pertama hari-hari raya gereja, termasuk di dalamnya perayaan Natal, pertama kalinya secara akurat di hitung di Mesir.

 

Seorang astronom gereja Koptik, bernama Batlimous, pada akhir abad II M melakukan perhitungan secara cermat atas perintah Pope Dimitri (Pope Demetrius), Patriarkh Iskandariyah dari tahun 199 s/d 232M.

 

Penanggalan Mesir dihitung berdasarkan penampakan bintang Siriuz, yang akhir-akhir ini diakui oleh UNESCO sebagai kalendar yang paling akurat dibandingkan dengan sistem penanggalan manapun yang pernah di buat.

 

Jadi penetapan perayaan Natal mula-mula jatuh pada tanggal 29 bulan Khiahk. Di wilayah kekaisaran Roma pada waktu itu berlaku kalendar Julian.

 

Kalendar Julian ini ditetapkan oleh Julius Caesar tahun 46 sebelum M, yang didasarkan atas peredaran matahari, Hitungannya 700 tahun dari berdirinya kota Roma.

 

Memang, sangat sulit memastikan kapan secara persis Yesus dilahirkan. Sebab disamping mengenai tanggal kelahiran Yesus itu tidak ditetapkan para zaman rasul-rasul, juga banyaknya sistem penanggalan pada zaman itu, sangat menyulitkan.

 

Pada zaman Perjanjian Baru sendiri, orang Parisi (dan Yahudi arus utama) mengikuti kalendar Qamariah (peredaran bulan), tetapi kaum Eseni di Qumran memakai kalendar Syamsiah (peredaran matahari).

 

Tidak ada data sejarah dari abad pertama gereja mula-mula merayakan Natal, sebab perayaan Natal memang hasil kontekstualisasi Injil, ketika Injil masuk dalam budaya non-Yahudi.

 

Jadi, upaya menghitung-hitung Natal berdasarkan Alkitab tidak mendapat dukungan data sejarah gereja purba manapun. Nah, ketika gereja mulai tersebar di Antiokhia, Alexandria dan kemudian Roma dan Konstantinopel, perayaan Natal itu ditetapkan.

 

Tetapi bukan Roma yang pertama menetapkan, seperti selama ini dianggap orang. Karena di Barat gereja yang paling kuno adalah Katholik, sementara gereja-gereja Timur tidak pernah dikenal di sana, akhirnya muncul kesimpulan semacam itu.

 

Penanggalan gereja yang selama ini dikenal juga hanya penanggalan Barat versi Gregorian, padahal versi Gregorian ini merupakan adaptasi Roma dari penanggalan Julian yang dipakai di gereja Yunani Ortodoks.

 

Baik penanggalan Julian maupun Gregorian sama-sama berdasarkan peredaran matahari (syamsiah). Dalam perayaan-perayaan gerejawi, penanggalan gereja Ortodoks Yunani (Roma Barat) yang akhirnya diikuti gereja-gereja Protestan, ternyata mengambil alih dari Gereja Ortodoks Koptik yang didasarkan atas peredaran bintang (kawakibiah).

 

Jadi, sejak zaman Perjanjian Baru hingga sekarang, gereja mengenal penanggalan bulan (Qamariyah), 3 versi kalender matahari (Syamsiah) yaitu Qumran, Julian dan Gregorian, dari kalendar bintang (Kawakibiah).

 

Dari penetapan mula-mula berdasarkan kalendar bintang di Mesir, tanggal 29 bulan Khiahk, kemudian diambil alih kalendar Julian yang kini jatuh tanggal 7 Januari dan disesuaikan lagi dengan kalendar Gregorian yang kini jatuh tanggal 25 Desember.

 

Sementara itu, berdasarkan penanggalan Armenia, Gereja Ortodoks Armenia kini merayakannya setiap tanggal 19 Januari. Perbedaan-perbedaan ini, di gereja-gereja Timur Tengah bisa diselesaikan dengan baik dalam semangat Oikumenis.

 

Misalnya, di Mesir Gereja Katolik dan gereja-gereja Protestan mengikuti kalendar Julian 7 Januari, sedangkan di Yerusalem, gereja Ortodoks Syria mengikuti kalendar Gregorian, 25 Desember. Mengapa di Indonesia kita harus membuat masalah baru?

 

Sumber Tabloit Gloria Edisi 374, Minggu ke IV Oktober 2007

 

Artikel Yang Lain:

- Penemuan Naskah Laut Mati Berusia 2200 Tahun

- Natal 25 Desember Tidak Perlu Dipersoalkan?

 

  Ingin berlangganan gratis “Elia’s Stories” kirimkan email kosong ke This e-mail address is being protected from spam bots, you need JavaScript enabled to view it atau click Sign Up, Selanjutnya, ‘reply’ balasan dari yahoogroups sebagai konfirmasi.

 

Renungan: Benarkah Yesus Lahir Tanggal 10 Tisyri

Lukas  1:26 mencatat bahwa Malaikat Jibril menemui Maryam pada bulan ke 6 setelah Elizabet mulai mengandung Yahya Pembabtis. Hanya itu yang dicatat dalam Alkitab, yang tentunya sangat tidak memadai untuk dijadikan dasar perhitungan kapan Yesus dilahirkan.

 

Ada yang menghitung berdasarkan 1 Taw 24:10, rombongan Abia mendapatkan giliran ke 8 bertugas di Bait Allah dan keseluruhan imam dibagi menjadi 24 rombongan.

 

Nah, dengan menghitung jatuhnya urutan ke 8 itu, sejak saat itu Elisabet mengandung, lalu pada bulan ke 6 Malaikat Jibril datang kepada Maryam.

 

Berdasarkan hitungan itu, ditetapkan bahwa Yesus dilahirkan pada tanggal 10 bulan Tisyri, tepatnya pada hari Raya Pondok Daud (hag hassukot). Dan tahun ini jatuh bertepatan dengan 16 September.

 

Menurut Bambang Noorsena, hitungan ini juga sangat spekulatif. Mengapa? Karena tidak ada catatan sejarah mengenai kapan rombongan Abia bertugas di Bait Allah pada tahun kelahiran Yesus.

 

Lagi pula, kalendar Yahudi mempunyai bulan ke 13 pada hitungan tahun-tahun tertentu, maka bulan ke enam setelah Tisyri bisa jatuh pada bulan Adar Syeni atau Nisan.

 

Karena itu, penetapan penggiliran pelayanan para imam seperti yang ditetapkan dalam Taurat, setiap tahunnya bergeser terus. Jadi, tidak bisa untuk patokan.

 

Sejarah agama-agama adalah sejarah kontekstualisasi. Tidak pernah ada agama apapun yang lahir dan berkembang tanpa menerima pengaruh dan saling mempengaruhi dalam proses saling silang budaya.

 

Begitu pula dengan Natal. Di wilayah Barat, 25 Desember sejajar dengan perayaan Dewa Matahari yang tak terkalahkan. Kesejajaran semacam itu serta merta tidak dapat dijadikan dasar peonolakan perayaan Natal dalam penanggalan liturgis.

 

Itulah hakikat kontekstualisasi yang terjadi pada agama apa saja. Bukankah konsep Sabat Perjanjian Lama sebelumnya sudah ditemukan dalam konsep Sabatu dalam agama Babel kuno?

 

Bagaimana hari perhentian dewa-dewa bisa menjadi “hari Tuhan?”. Begitu juga “Berkat Imam” (Bil 6:23-26) ditemukan kesejajarannya dengan berkat Dewa Matahari di Babel.

 

Bahkan bilangan tujuh hari dalam seminggu juga dipinjam Perjanjian Lama (yang kemudian diambil alih oleh perhitungan waktu di seluruh dunia), juga mula-mula berasal dari agama Babel.

 

Karena itu,kita tidak dapat lagi memakai pendekatan “hitam putih” dengan mencap setiap tradisi di luar Kitab Suci sebagai kafir. Lebih-lebih lagi, apabila kita memahami bahwa dalam agama-agama manusia terkandung kerinduan dan penantian akan Allah.

 

Simbol-simbol itu laksana fajar-fajar iman yang menunggu matahari bersinar penuh. Itulah Matahari Hikmat Kristus, Sang Terang Sejati: “yang menerangi setiap orang, telah datang ke dalam dunia” (Yoh 1:9)

 

Sumber Tabloit Gloria Edisi 374, Minggu ke IV Oktober 2007

 

Comments
Add NewSearch
Write comment
Name:
Subject:
[b] [i] [u] [url] [quote] [code] [img] 
 
 
:angry::0:confused::cheer:B):evil::silly::dry::lol::kiss::D:pinch:
:(:shock::X:side::):P:unsure::woohoo::huh::whistle:;):s
:!::?::idea::arrow:
 
Security Image
Please input the anti-spam code that you can read in the image.
 
< Prev   Next >