Hamba Tuhan
Login





Lost Password?
No account yet? Register
Find Us on Facebook
Shalom, bagaimana kabar Anda hari ini? Silahkan login atau register.
Doa - Antara Teori Dan Praktek PDF Print
User Rating: / 9
PoorBest 
Wednesday, 23 June 2010

oleh: Ev. Paul Santoso Hidayat, S.Th., M.Th.

Saya pernah mengalami kesulitan nafas. Sesudah terserang batuk agak lama, lalu saya mengalami sesak nafas karena alergi. Selain sangat menyiksa, juga pengalaman sewaktu nafas saya menjadi sesak, pendek dan terengah-engah itu menimbulkan rasa ngeri. Sekaligus saat itu saya menyadari betapa berharganya hidup sehat yang dapat bernafas tanpa masalah.

Berdoa sering diumpamakan sebagai bernafas secara rohani. Jika kita benar-benar menerima gambaran itu, tentu kita akan menghargai betapa besarnya anugerah yang telah Allah berikan kepada umat-Nya dengan memberikan hak istimewa untuk boleh berdoa kepada-Nya. Dan, betapa besar resiko yang kita datangkan kepada hidup apabila kita mengabaikan doa dalam kehidupan kita. Sungguhkah seperti itu pertimbangan dan perlakuan kita tentang doa? Agaknya tidak selalu nyambung teori dengan praktik. Mengapa bisa begitu? Mungkin karena pemahaman teorinya pun hanya sambil lalu, tidak dalam, sehingga tidak sungguh dihayati!

Bagaimana kaitannya sampai doa jadi demikian hakiki dan vital? Doa terkait dengan fakta bahwa Allah yang kasih adanya itu menciptakan manusia sebagai makhluk yang berpotensi menyambut dan merespons Allah dalam kasih juga. Manusia disebut Allah sebagai gambar-rupa Allah. Sedangkan Allah, ketika menciptakan manusia sebagai gambar-rupa-Nya itu menyebut diri-Nya, “kita.” Banyak sekali isi Alkitab menegaskan bahwa Allah yang Esa itu adalah Allah yang berhakikat relasi. Allah kasih adanya! Ini yang dalam theologi Kristen diterjemahkan sebagai doktrin Tritunggal. Di dalam hakikat kekal-Nya, Allah adalah Bapa, Putra, Roh yang berkasih-kasihan. Jadi sebagai gambar-rupa Allah, manusia pun memiliki kekhususan yaitu merupakan makhluk relasi. Dalam relasi dirinya, relasi sosialnya, relasinya dengan alam, manusia sebenarnya sedang mengungkapkan hakikat terdalamnya sebagai makhluk relasi yang berawal dari relasinya dengan Allah. Fakta Allah dan fakta manusia inilah yang menyebabkan doa merupakan suatu hal yang sangat hakiki dan vital dalam keberadaan manusia. Dalam pemahaman ini bahkan doa lebih hakiki dan vital daripada diartikan sebagai nafas rohani. Doa adalah ungkapan dari relasi kita dengan Allah. Doa adalah komunikasi atau dialog manusia dengan Allah. Ketidaklancaran kehidupan doa adalah gejala ketidakberesan relasi kita dengan Allah.

Jika demikian hakiki dan vital, mengapa pada kenyataannya kita tidak spontan menghasrati doa? Mengapa kehidupan doa kita (komunikasi kita dengan Tuhan) tersendat – senin-kamis – tidak intim pada segala waktu? Karena menurut Alkitab relasi itu tidak lagi harmonis. Kejatuhan seluruh umat manusia ke dalam dosa pada intinya adalah memilih untuk tidak berhubungan dengan Allah. Tidak heran apabila kita tidak menghasrati doa sebab pada intinya kita tidak memiliki hasrat yang murni akan Allah. Syukurlah bahwa Allah tetap berhasrat untuk bersekutu dengan ciptaan-Nya ini. Itu sebab Ia mendirikan perjanjian dengan Abraham yang pada puncaknya menghasilkan pendamaian antara diri-Nya dengan umat-Nya di dalam Yesus Kristus. Dengan pendamaian yang Yesus Kristus hasilkan, pulihlah relasi kita dengan Allah, terbit pula hasrat kuat kita akan Allah – kesadaran dan kerinduan untuk berdoa yang melaluinya kita menumbuhkan relasi kasih kita dengan Allah.

Dengan demikian berdoa adalah sesuatu yang jauh lebih dalam dan lebih luas daripada sekadar cara untuk meminta berbagai berkat bagi hidup atau untuk mengalami kuasa Allah bagi berbagai kebutuhan hidup. Inti doa adalah relasi, adalah komunikasi dengan Allah. Hanya bila dalam komunikasi kita dengan Allah, ada tempat bagi Allah mengkomunikasikan diri-Nya juga pada kita, barulah doa itu menjadi bagian dari relasi yang riil. Inilah alasan mengapa Tuhan Yesus mengaitkan keadaan dipenuhi oleh firman sebagai syarat bagi doa yang dikenan Allah. Dan hanya dengan demikianlah semua berkat dari relasi kita dengan Allah yaitu berbagai akibat yang timbul dari pengenalan kita yang tumbuh mendalam akan Allah, atau akibat dari semakin leluasanya Allah hadir dalam kehidupan kita, akan dapat kita alami. Dan segala berkat itu kita terima bukan karena kita memiliki iman yang hebat atau gigih dalam mengklaim Allah, melainkan karena iman-harap-kasih kita dalam doa menyatu dengan kasih-hikmat-kuasa-rencana-Nya bagi kita.

Pengertian doa yang seperti inilah yang kita jumpai dalam berbagai kisah nyata kehidupan doa para tokoh Alkitab. Pada orang seperti Abraham, Musa, Samuel, Daud, Hizkia, Yeremia, Daniel, Yesus, para rasul, Paulus, doa bukan soal cara, aturan, formula, tetapi komunikasi yang sangat menentukan vitalitas kehidupan dan karya mereka. Itu sebabnya bukan kebiasaan berdoa lima atau tujuh kali dalam sehari yang memberdayakan doa mereka, tetapi keintiman hubungan dengan Allah yang membuat mereka memiliki daya doa yang memenuhi seluruh kehidupan dan karya mereka sepanjang hidup. Tidak heran apabila doa bukan sesuatu yang menjadi beban bagi mereka melainkan merupakan suatu kesukaan. Juga, apabila mereka begitu dalam merasakan kebutuhan untuk berdoa dan untuk didoakan.

Alkitab dan doa, atau doa yang interaktif dengan firman Allah, adalah doa yang benar yang menjadi semarak dari realita relasi yang intens antar Allah-manusia secara timbal balik. Bagaimanakah doa Anda? Nafas Anda sajakah yang mendengus di dalamnya, atau terdengar juga nafas bicara Allah di dalamnya? Dalam hubungan yang intimkah Anda dengan Allah? Bagaimana kualitas relasi Anda dengan Allah terdengar dalam irama, sikap, isi dan lingkup doa Anda sehari-hari? Bagaimana perhatian, arah hati, gerak misi Allah tercermin dalam doa-doa Anda?

Doa kita hendaknya mencirikan bahwa seluruh hidup kita adalah dari-oleh-untuk Allah saja!

 

Renungan: Keunikan Kanonisasi Alkitab

Oleh : Ev. Dra. Trivina Ambarsari S., S.Th.

(lulusan Sekolah Tinggi Theologia Reformed Injili Indonesia¨STTRII Jakarta)

 

Alkitab terdiri dari 66 buah kitab yang disusun menjadi satu - disebut kanon sedangkan proses pemilahan dan penyusunan kitab-kitab ini disebut dengan kanonisasi. Meskipun kelihatannya unsur manusia sangat berperan besar dalam menentukan apakah suatu kitab itu layak dimasukkan ke dalam kanon atau tidak, namun ternyata Kanonisasi ini justru membuktikan Kemahakuasaan Allah. Allah yang memegang peranan penting dalam kanonisasi.

Kanon Alkitab disusun dari begitu banyak pilihan kitab-kitab yang 'dianggap' bersifat rohani pada masa itu. Ada banyak tulisan yang 'dianggap dari Allah' muncul pada masa intertestamental, masa di mana Allah 'berdiam diri' sekitar 400 tahun di antara Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru ; di antaranya adalah 12 karya yang disebut Kitab Apokrifa oleh Roma Katolik meskipun Sinode Yamnia telah mengeluarkan 12 karya itu dari kanon PL. (baca : Ensiklopedia Masa Kini Jilid 1, Jakarta : OMF, hal. 62.) Cobalah memahaminya dengan membayangkan seperti ini : menyusun suatu bunga rampai yang terdiri dari 66 karya dari seluruh karya sastra di Indonesia ini yang periode kepenulisannya berusia 100 tahun (bukan 1500 tahun!), harus diambil dari berbagai penulis, berbagai bentuk tulisan, berbagai situasi - lalu dijadikan satu. Bunga rampai tersebut harus memenuhi tuntutan-tuntutan, misalnya harus memiliki kesinambungan dalam materi yang sedang dibahas, adanya kesamaan tema, prinsip etika serta pengajaran dasar. Tentunya hal itu merupakan hal yang mustahil. Terlebih jika karya tersebut dituntut harus memiliki kualifikasi yang dapat mempengaruhi manusia di semua zaman dan semua tempat, tentulah ini tidak pernah dapat dipenuhi sekalipun bunga rampai tersebut disusun oleh banyak tenaga ahli.

 

Sesungguhnya, bukan karena kehebatan dari orang-orang yang melakukan kanonisasi yang menyebabkan Alkitab dapat disusun seperti yang kita miliki hari ini ; melainkan karena adanya "Arsitek" di belakang penyusunan itu. Inilah mujizat Roh Kudus yang terbesar di dalam mengaruniakan wahyu Allah kepada manusia, - tanpa itu tidak pernah ada kitab seperti Alkitab yang dapat dibuat di dalam sejarah manusia."

 

(Diambil dari Buklet Doktrin Alkitab oleh Trivina Ambarsari, 2002, pp. 12-13, Penerbit: Momentum)

Comments
Add NewSearch
Write comment
Name:
Subject:
[b] [i] [u] [url] [quote] [code] [img] 
 
 
:angry::0:confused::cheer:B):evil::silly::dry::lol::kiss::D:pinch:
:(:shock::X:side::):P:unsure::woohoo::huh::whistle:;):s
:!::?::idea::arrow:
 
Security Image
Please input the anti-spam code that you can read in the image.
 
< Prev   Next >