Hamba Tuhan
Login





Lost Password?
No account yet? Register
Find Us on Facebook
Shalom, bagaimana kabar Anda hari ini? Silahkan login atau register.
Konsili Nicea (Tahun 325) PDF Print
User Rating: / 0
PoorBest 
Monday, 04 April 2011
Meskipun Tertullianus telah merumuskan bagi Gereja bahwa Allah itu memiliki satu hakikat: terdiri atas tiga pribadi, namun ia belum memberi pengertian lengkap tentang Tritunggal. Sesungguhnya, doktrin ini telah membingungkan para teolog besar.

Pada awal abad keempat, seorang imam di Alexandria, Mesir – Arius – menyebut dirinya Kristen. Namun Arius menerima juga teologi Yunani yang mengajarkan bahwa Allah itu unik adanya dan tidak dapat dikenal.  Menurut pemikiran itu, Allah begitu beda, yaitu bahwa Dia tidak dapat membagi hakikatNya dengan apapun. Hanya Allah yang bisa menjadi Allah. Dalam bukunya yang berjudul Thalia, Arius menyatakan bahwa Yesus memiliki sifat keilahian, namun bukan Allah. Hanya Allah Bapa, kata Arius, abadi adanya. Jadi, PutraNya itu merupakan manusia yang diciptakan. Ia seperti Bapa, tetapi bukan Allah.

Banyak dari antara bekas kafir menyenangi pandangan Arius. Karena dengan pandangan itu, mereka mendapat peluang mempertahankan ide yang telah mendarah daging, yaitu Allah yang tidak dapat dikenal, dan memandang Yesus sebagai pahlawan super yang bersifat ilahi, tidak berbeda dengan pahlawan-pahlawan yang ada dalam mitologi Yunani.

Sebagai seorang pengajar yang pandai berbicara, Arius tahu cara membuat sebagian besar pendapatnya menarik, bahkan menyusunnya menjadi lagu, yang dinyanyikan oleh kaum jelata.

Banyak yang tertanya: Mengapa orang-orang menghebohkan ide Arius? Namun Alexander, uskup atasan Arius memandang bahwa, agar dapat menyelamatkan dosa manusiawi, Yesus haruslah sungguh-sungguh Allah. Alexander memutuskan agar Arius dihukum oleh sinode, namun imam yang popular itu mempunyai banyak pendukung. Maka timbullah kerusuhan di Alexandria karena persaingan teologis yang sangat mudah menyinggung perasaan ini dan para rohaniawan lainpun mulai berpihak pada masing-masing kubu.

Begitu kerusuhan timbul, Kaisar Konstantinus tidak dapat lagi memandang perdebatan itu sebagai ‘persoalan agama belaka’. “Persoalan agama” ini mengancam keamanan Negara. Untuk menangani masalah ini, Konstantinus mengadakan konsili di seluruh kekaisaran di kota Nicea, Asia Kecil.

Dengan memakai jubbah aneka warna yang dihiasi permata, Konstantinus membuka konsili tersebut. Ia berseru kepada lebih dari tiga ratus uskup yang hadir agar mereka menyelesaikan masalah ini. Perpecahan dalam Gereja, katanya, lebih buruk daripada peperangan, karena melibatkan jiwa-jiwa abadi.

Penguasa itu membiarkan para uskup itu berdebat. Ketika Arius berhadapan dengan mereka, ia dengan jelas menyatakan bahwa Anak Allah itu adalah manusia yang diciptakan dan tidak seperti Bapa, Ia dapat berubah.

Pertemuan itu menolak dan mengutuk pandangan Arius tersebut. Namun mereka perlu bertindak lebih jauh. Untuk menjelaskan pandangan mereka sendiri dibutuhkan suatu pengakuan iman.

Maka mereka merumuskan beberapa pernyataan tentang Allah Bapa dan Allah Anak. Mereka menjelaskan bahwa Anak adalah “Allah Sejati dan Alah Sejati, diperanakkan bukan dijadikan dan sehakikat dengan Bapa”.

Istilah “satu hakikat”, menjadi sasaran kritik. Kata Yunani yang mereka pakai ialah homoousios. Homo artinya “sama” ousios artinya “hakikat”. Kubu Arius menambahkan satu huruf dalam kata  itu: Homoiousios yang artinya ialah “keserupaan hakikat”

Semua uskup, kecuali dua orang, menandatangani pernyataan iman. Mereka berdua dan Arius diasingkan . Konstantinus agaknya puas akan hasil prakarsanya itu. Namun itu tidak bertahan lama.

Meskipun Arius menghilang untuk sementara, teologinya bertahan beberapa dekade lamanya. Seorang diaken dari Alexandria, Athanasius, menjadi salah seorang lawan yang tangguh bagi Arianisme. Pada tahun 328, Athanasius menjadi uskup di Alexandria dan melanjutkan “peperangan” dalam jemaatnya.

Akan tetapi “pertempuran” itu meluas keseluruh Gereja Wilayah Timur, sampai pada Konsili lain yang diselenggarakan pada tahun 381, di Konstantinopel. Konsili tersebut mensahkan ulang Konsili Nicea. Namun demikian, jejak-jejak pemikiran Arius tidak hilang dari Gereja.

Konsili Nicea bukan saja mulai menyelesaikan masalah teologi, tetapi juga menjadi teladan bagi Gereja dan Negara. Pada tahun-tajhun berikutnya, ketika masalah rumit muncul di Gereja, maka hal itu diselenggarakan melalui kebijaksanaan kolektif para uskup. Konstantinus  mulai dengan praktik menyatukan Negara dan Gereja dalam hal mengambil keputusan. Namun, hal itu menimbulkan masalah pada abad-abad berikutnya.

Sumber:

Buku 100 Peristiwa Penting Dalam Sejarah Kristen (The 100 Most Important Events in Christian History)

Penerbit PT BPK Gunung Mulia

Comments
Add NewSearch
Write comment
Name:
Subject:
[b] [i] [u] [url] [quote] [code] [img] 
 
 
:angry::0:confused::cheer:B):evil::silly::dry::lol::kiss::D:pinch:
:(:shock::X:side::):P:unsure::woohoo::huh::whistle:;):s
:!::?::idea::arrow:
 
Security Image
Please input the anti-spam code that you can read in the image.
 
< Prev   Next >